Mohon tunggu...
Herry Nuryadi
Herry Nuryadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Manusia. Berusaha berpikir sebagai manusia, dan hanya ingin bicara tentang kemanusiaan....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekilas Mengenal Sosok Djarot Syaiful Hidayat (Kandidat Wagub DKI Jakarta)

26 Maret 2014   05:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:28 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_300591" align="aligncenter" width="200" caption="(Sumber: Merdeka.com)"][/caption]

Ketika saya mulai mendengar berita tentang santernya bursa calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, dimana salah satu kandidatnya adalah Djarot Syaiful Hidayat, saya langsung teringat kenangan pahit manis bersama beliau sekitar 30 tahun yang lalu. Di saat saya masih mahasiswa baru, dan beliau sudah hampir selesai kuliah dan masuk tahap penyusunan skripsi. Dan terus terang, saat itu saya kuliah di fakultas yang sama dengan beliau di FIA (Negara) Unibraw, Malang, hanya dikarenakan pertimbangan sederhana saat itu: Kalau saya kuliah di FIA, berarti saya tidak terlalu repot-repot beli diktat atau buku acuan baru. Tinggal nunggu “lungsuran” buku saja dari beliau. Dan alhamdulillah memang banyak faedahnya. Sekarang beliau jadi “orang besar” dan saya jadi kuli pabrik.

Djarot Syaiful Hidayat menjalani masa muda tidak beda dengan anak muda lain masa itu. Suka begadang, main gitar, main kartu, nggodain cewek, dan sekali-sekali “ngemplang” makanan di warung. Maklum, karena saat itu kita sama-sama mahasiswa dari keluarga pas-pasan yang senasib sepenanggungan. Masih kuat kenangan dalam ingatan saya, saat kita tinggal di rumah kontrakan di jalan Palem, Malang, yang kemudian berlanjut kontrak rumah di wilayah kumuh daerah Jagalan, Malang. Rumah kontrakan kami tidak bedanya markas kumpulnya anak muda dan mahasiswa. Hampir tidak ada sepinya. Kegiatan rutin kami saat itu, ngopi, main kartu, nyanyi sambil main gitar, diskusi tentang segala hal, terutama tentang politik dan sosial. Dan biasanya, yang menjadi mentor kami tentang masalah politik adalah kakak tertua kami, Mas Untung (Dr. Untung Alifianto), yang sampai sekarang masih tetap kami segani dan jadi panutan kami.

Ada kebiasaan-kebiasaan kecil yang jadi kenangan saya yang tak terlupakan. Saat itu, dimana kami hanyalah para mahasiswa dengan kantong pas-pasan, kami punya kebiasaan merokok sebatang bersama (istilah jaman itu “join rokok”). Atau kalau pas kita merokok sendiri, seringkali kita sisakan puntungnya dan disembunyikan di lobang ventilasi, untuk bisa kita hisap lagi disaat kita pingin merokok lagi. Dan alhamdulillah, naluri itu masih melekat jadi kebiasaan saya sampai sekarang. Lumayan, nggak perlu sering-sering beli rokok. Kebiasaan kecil lainnya yang selalu teringat, jika daftar menu makan sehari-hari berubah, dari tahu, tempe goreng, dan sambal, tiba-tiba menjadi sate ayam, rokok tersedia dalam bungkus utuh (bukan batangan), atau tiba-tiba ada ajakan untuk nonton film di bioskop favorit kami, bioskop “Kelud” (gedung bioskop misbar/gerimis bubar yang ada di kota kami), berarti ada yang baru terima kiriman dari kampung atau dapat honor, dan tidak jarang karena ada orang yang masih mau berbelas kasihan mengutangi kita.

Djarot Syaiful Hidayat, putra ke-empat dari keluarga Bapak M. Thoyib, seorang pensiunan militer dari detasemen perhubungan, adalah sosok yang sudah kenyang tertempa kerasnya kehidupan. Hidup dalam lingkungan keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras, mulai dari menjadi petani, berternak, berjualan di pasar. Pekerjaan apapun dilakukan, yang penting halal dan pendidikan tidak teputus. Dan saya masih teringat satu hal lagi, pada saat mau memasuki awal semester kuliah, saya pernah diajak beliau untuk bayar biaya kuliah ke bank. Ketika sampai di depan teller, beliau mengeluarkan berkantong-kantong plastik koin Rp.25-an sampai Rp.100-an dari ransel dan ditumpuk menggunung di meja teller. Saat itu beliau berkata: “Monggo Mbak. Kalau nggak percaya jumlahnya, silahkan dihitung sendiri”. Dan dengan merengut, terpaksa mbak teller yang cantik itu percaya saja pada tulisan jumlah uang yang tertera di masing-masing kantong itu. Daripada tersiksa harus menghitung tiap-tiap koin. Dan saya saat itu sampai sakit perut menahan tawa.

Inilah pengalaman hidup saya selama bersama beliau saat muda dulu. Kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari segala manis getir kehidupan yang pernah kita lalui bersama. Dan kepada Pak Djarot, kalau kebetulan sempat membaca tulisan ini, saya mau menyampaikan pesan: Mas, jadi apapun nanti, saya selalu berharap Mas tetap menjadi Mas Djarot yang saya kenal sejak dulu. Tidak kurang bahkan harus lebih. Jangan kecewakan kami, karena kami sudah kenyang dengan kekecewaan. Dan sebelumnya saya minta maaf kalau tulisan ini tidak berkenan di hati Mas. Karena se”tidak penting” apapun Mas Djarot dulu, itu tetap menjadi bagian dari Mas Djarot sekarang. Orang besar tidak harus punya sejarah yang tertulis dengan tinta emas pada masa lalunya. Tapi, orang besar adalah orang yang bisa belajar dari masa lalunya. Terus berjuang Mas.....demi kemanusiaan.....

Salam Kompasiana.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun