Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Bumi Manusia sampai Perburuan

7 Februari 2025   07:08 Diperbarui: 11 Februari 2025   17:13 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasib papan nama rumah Pram 2023/Foto: Hermard

Apa yang selayaknya dicatat dalam mengenang Seabad Pram? Apakah papan nama Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) yang tertutup seng bangunan menyerupai pos ronda, menempel di pagar rumah Pramoedya Ananta Toer di Blora? Atau cerita "pengembaraan" saya bersama Mas Landung Simatupang (sastrawan, aktor), Mas Noereska (pengurus Rumah Literasi Blora), diikuti Mas Heri Mursanto, Mbak Bety Novitasari, dan Mas Sani menyusuri "situs-situs" latar novel Perburuan?

Mungkin dua catatan itu akan terserak di akhir bagian tulisan ini sebagai pemanis. Sebab, kali ini saya akan mengawali dengan situasi mencekam saat pertama kali "berburu" mendapatkan stensilan Bumi Manusia ketika awal kuliah di Fakultas Sastra UGM, tahun 1980.

Nasib papan nama rumah Pram 2023/Foto: Hermard
Nasib papan nama rumah Pram 2023/Foto: Hermard
Novel Bumi Manusia dan Orde Baru

Setelah mengendus dan mendapatkan buku stensilan Bumi Manusia dari kakak tingkat melalui perjuangan panjang "gerakan bawah tanah", membacanya pun terpaksa harus sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui orang lain, kecuali teman akrab, jape mete. 

Entah mengapa, setiap membaca, jantung berdegup kencang, takut kalau-kalau ada orang nyelonong dan tahu kalau yang tengah dibaca merupakan karya dari Pulau Buru- diindikasikan oleh pihak penguasa berisi ideologi partai terlarang. 

Kalau novel itu dibawa kuliah dan dibaca di perpustakaan- tempat paling nyaman membaca apa pun- tetap saja perasaan selalu dag-dig-dug-plas, tidak tenang, takut kalau ada orang asing tiba-tiba mendekat. Jangan-jangan orang tersebut adalah intel Orde Baru. 

Jika ketahuan membawa buku-buku terlarang, meskipun baru diindikasikan secara serampangan (mana ada pejabat kala itu mau membaca karya sastra dengan suntuk) mengandung ajaran komunis, dapat dipastikan nasib sial akan menimpa. Bisa-bisa kita hilang secara misterius.

Mendapatkan buku-buku Pram kala itu, bukanlah perkara mudah. Terlebih penguasa Orde Baru sangat represif dalam menjaga kestabilan keamanan dan politik. 

Siapa pun yang tidak mengikuti kebijakan pemerintah, termasuk melanggar aturan pemerintah, akan dicap sebagai pelaku tindakan subversif dan layak diteror, ditindas, dipenjarakan.

Setelah tetralogi Bumi Manusia diterbitkan oleh Hasta Mitra, Jakarta (1980, setahun ada yang mengalami cetak ulang sampai tiga kali), saya segera berburu ke toko buku, membeli novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca- novel Jejak Langkah terbit setelah beberapa waktu kemudian. Harga novel Bumi Manusia ketika itu tiga ribu lima ratus rupiah!

Saya sudah tidak ambil pusing dengan buku stensilan Bumi Manusia yang pernah saya punya. Karena setelah selesai membacanya, buku itu terus berpindah tangan seperti piala bergilir di antara teman-teman di Fakultas Sastra, dan akhirnya raib seperti ditelan bumi, entah kemana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun