"Edun banget, keluarga Inge (bukan nama sebenarnya) meminta uang maharnya seratus juta, pestanya di hotel, jumlah undangan mereka yang menentukan!" gerutu Bu Joko saat ngobrol bersama Ibu Negara di teras Omah Ampiran.
Bu Joko yang tinggal di daerah Jawa Barat bercerita kalau dua bulan sebelumnya keluarga calon besan (Pak Ujang-nama rekaan) ingin berkunjung  berkenalan.Â
Tidak dinyana, kedatangan mereka, bukan hanya sekadar silaturahmi, tetapi menanyakan kapan keluarga Pak Joko akan melamar Inge. Mereka mendesak, kalau hubungan Inge dengan Udin benar-benar serius, maka segala persiapan harus segera dilakukan.
Kenyataan tersebut membuat Bu Joko merasa tertekan. Terlebih ia belum mengenal dekat pacar anaknya. Belum genap setahun hubungan mereka terjalin. Bu Joko baru dua kali bertemu Inge, dan itu pun sebatas say hello, belum pernah berbincang akrab guna saling mengenal lebih dekat.
Kepala Bu Joko tambah pusing tujuh keliling dan hipertensinya dirasa kambuh karena saat membalas kunjungan  ke tempat keluarga Pak Ujang, kembali mereka mendesak dan berharap agar pernikahan bisa dilaksanakan  akhir 2024 dengan mahar 100 juta!
Bu Joko memprediksi tuntutan "maha ngawur" itu kemungkinan dilakukan karena saat keluarga Pak Ujang  datang bersilaturahmi ke kediamannya, melihat bangunan rumah permanen, ada bebetapa pohon durian, terparkir tiga mobil: mobil butut milik Pak Joko, mobil bagus milik saudara dari Sumatera yang tengah menginap,  satu lagi mobil tetangga yang numpang parkir, dan beberapa motor, dikira semua milik keluarga Pak Joko!
Mendengar cerita "lelucon yang tidak lucu" itu tentu saja saya terperangah. Hem zaman sudah bergeser sedemikian absurdkah? Apakah cinta pada ujung-ujungnya harus "dibayar" mahal dan kemungkinan besar menggagalkan pernikahan? Boleh  jadi ini merupakan salah satu faktor penyebab ÂBukankah ketidaksepahaman mengenai nilai emas kawin (mahar) bisa berdampak terhadap batalnya pernikahan? Meskipun terkadang, pihak perempuan merasa perlu menetapkan emas kawin yang tinggi sebagai bentuk "harga diri", simbol status.Â
Persoalannya, bagaimana jika  pihak calon mempelai laki-laki  beranggapan bahwa hal ini tidak seharusnya menjadi tolok ukur nilai hubungan mereka? Terlebih jika kondisi finansial belum stabil (terlebih mapan), sehingga  merasa mahar tersebut melebihi kemampuan calon temantin laki-laki.
Dari silang sengkarut tingginya mahar yang diminta, boleh saja kita berprasangka, kondisi ini mengedepan karena kedua belah pihak keluarga belum saling mengenal dekat. Padahal pernikahan bukan hanya  mempersatukan pasangan kekasih, tetapi mempersatukan dua keluarga besar. Untuk melumerkan keduanya tentu perlu "saling intip" dan ini memerlukan waktu cukup panjang.Â
Setelah mengetahui latar belakang sosial ekonomi, tradisi/budaya, dan bobot, bibit, bebet (dalam konteks budaya Jawa) masing-masing keluarga, tentunya berbagai hal dapat dikopromikan dan diselaraskan demi menyatukan keluarga besar lewat pernikahan dua insan yang memadu kasih.
Dalam masyarakat Jawa, kerukunan menjadi salah satu pertimbangan pernikahan, baik kerukunan suami-isteri maupun kerukunan  antarkeluarga besar demi terciptanya kebahagiaan.