"Jangan pernah menikah kalau hanya menimbulkan penderitaan baru," begitulah pesan orangtua saat saya akan menikahi Ibu Negara Omah Ampiran. Nasihat tersebut menjadi motivasi bagaimana saya harus ngopeni diri sendiri, istri, dan rumah tangga dengan tidak mengecewakan harapan orangtua serta orang-orang terdekat.
Saat ini sudah tiga puluh tahun lebih usia pernikahan kami dan semua berjalan baik-baik saja. Kalau toh ada riak-riak kecil persoalan dalam rumah tangga, bukankah hal itu terjadi sebagai proses pendewasaan berumah tangga?
Riak-riak kecil itu kami jaga agar tidak menjadi gelombang besar yang mampu meruntuhkan bangunan kokoh cinta sejati. Terlebih setelah diberi momongan.Â
Jujur, saya tak ingin terjebak dalam perangkap lonely marriage setelah langkah panjang pernikahan. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan tanpa kesepakatan dan penyesuaian diri dengan Ibu Negara.Â
Bagi saya, modal utama untuk tidak merasa sepi, sendiri, sunyi, setelah mengarungi bahtera rumah tangga adalah komitmen untuk selalu bersama dengan pasangan dan anak-anak. Baik kebersamaan dalam pemikiran, emosional, maupun minat.
Kebersamaan bukan terbatas kegiatan merayakan tanggal-tanggal istimewa, seperti ulang tahun kelahiran, pernikahan, hari raya, pakansi bersama, tetapi juga saat mengambil keputusan besar.Â
Ketika ingin keluar dari omah tabon (rumah milik orangtua), misalnya, saya yang semula bersikeras tidak ingin hidup di lingkungan perumahan-konon tetangga selalu rese-toh pada akhirnya harus berpikir jernih, mengikuti pikiran logis wanita pendamping.
"Anggapan orang tentang hidup di perumahan belum tentu benar, Mas. Sekarang uang kita terbatas. Jika beli tanah, besok-besok memikirkan beli material bangunan, cari tukang, bayar tukang. Mendingan juga cari perumahan. Kita tahunya beres, rumah siap huni, tinggal mengangsur lewat KPR," desak Ibu Negara Omah Ampiran.
Akhirnya kami bersepakat mengambil perumahan pada awal tahun 1990-an dengan uang muka dari tabungan plus hutang koperasi. Uang muka dimaksimalkan, sehingga angsuran per bulannya tidak lebih dari sepertiga gaji.Â
Benar kata Ibu Negara, hidup di perumahan ternyata tidak semengerikan dalam bayangan. Justeru sebaliknya, kami hidup rukun dan guyub dengan tetangga perumahan maupun tetangga desa. Tentu dukungan Ibu Negara begitu besar demi mendapatkan rumah hunian dan meyakinkan saya bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah dua puluh tahun lebih hidup di perumahan, berlokasi di pedesaan, dan anak-anak ada yang sudah bekerja serta ada pula yang masih kuliah, kami harus pindah rumah.
Dalam mencari hunian baru pun, keputusannya tidak tergantung kepada kepala keluarga, tapi saya dan Ibu Negara berunding dengan melibatkan anak-anak untuk menentukan lokasi, bentuk, dan konsep rumah yang akan dibeli.Â
Begitulah, akhirnya keriuhan rembugan ayah, ibu, dan anak-anak terjadi. Inilah cara saya melakukan komunikasi terbuka untuk mengambil keputusan sekaligus meramaikan kehidupan rumah tangga. Sekarang kami menempati Omah Ampiran yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta.
Omah Ampiran kami pilih karena lokasinya mudah dijangkau, suasananya tenang, sehingga saya dan Ibu Negara dapat mengundang teman-teman untuk mengembangkan hobi masing-masing.Â
Ibu Negara bersama komunitas Ayu Sulam, beranggotakan emak-emak gaul, dengan kegiatam menyulam, merajut, dan menjahit. Sedangkan saya berkumpul dengan praktisi sastra, penulis, guru, penerbit, dan berbagai komunitas.Â
Teras rumah sengaja kami jadikan ruang tamu terbuka, sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk ngobrol, melakukan aktivitas apa pun. Begitulah keseruan terjadi setiap kali teman-teman ke rumah, bahkan komunitas Ayu Sulam pun mengenal para penulis dan praktisi sastra karena bersamaan waktu beramah tamah di Omah Ampiran.
Saya dan Ibu Negara mempunyai cara tersendiri jika harus menyelesaikan persoalan "serius", baik menyangkut kami berdua maupun anak-anak. Biasanya kami akan berbicara dari hati ke hati di sela-sela jalan pagi berkeliling kampung.Â
Atau terkadang sambil makan siang di luar. Jika pas di rumah sepi setelah anak-anak berangkat bekerja, maka pembicaraan kami lakukan sambil ngopi atau nge-game. Bagi kami, persoalan serius sebaiknya diselesaikan dengan cara santai agar tidak terbawa emosi, sambil meluangkan waktu berduaan.
Kode atau bahasa cinta yang kami bangun adalah dengan memperhatikan kesenangan timbal balik. Menyenangkan Ibu Negara cukup dengan mengajak belanja ke pasar tradisional, toko benang, toko buku, sesekali keluar kota yang bisa di tempuh sekitar satu sampai tiga jam. Di kota-kota kecil itu biasanya kami berburu jajanan atau kuliner tradisional kesukaan Ibu Negara.
Sebaliknya, Ibu Negara selalu menemani jika saya keluar malam menghadiri pertunjukan sastra. Selebihnya Ibu Negara selalu turun ke dapur "masak seadanya" atau sekadar membuatkan kopi untuk teman-teman praktisi sastra yang mampir.
Saling memahami dalam bahasa cinta, tentu kian mendekatkan saya dan Ibu Negara, masing-masing merasa dihargai dan membutuhkan. Dengan kata lain, koneksi emosional yang kuat, ternyata mampu menjaga keintiman kami di tengah menjalani rutinitas sehari-hari.
Bersinergi memberi dukungan merupakan hal penting untuk menjaga kebersamaan. Dukungan berupa tindakan nyata (action) yang dilakukan, tidak sekadar ujaran atau sebatas perkataan.Â
Saat pertama kali membeli rumah, anak-anak kuliah, saya dan Ibu Negara saling memberi dukungan agar mengencangkan ikat pinggang, memakai kacamata kuda, supaya kami bisa  hidup, menjaga dapur tetap berasap, dapat membayar angsuran rumah, serta mampu membayar UKT kuliah anak-anak yang begitu mehong...
Sekarang, setelah pensiun, saya dan Ibu Negara, tetap saling memberi dukungan agar selalu bersyukur, merasa bahagia menjalani sisa hidup dengan uang pensiunan. Ah, rasanya saya bersama Ibu Negara Omah Ampiran, memang mampu menghindari jebakan lonely marriage sampai menua! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H