"Neng endi Mas? Aku arep mampir, ngopi neng ngomah ya?-Dimana Mas? Saya mau mampir, ngopi ke Omah Ampiran," terdengar jelas suara Dedet Setiadi, penyair Jawa Tengah, di seberang telepon pada awal bulan Juli lalu (2/7/2024).
Tak butuh waktu lama, penyair kelahiran Magelang 12 Juli 1963 itu tiba-tiba sudah nongol di depan rumah di bilangan Randugowang, Sleman, sambil menenteng sekotak lumpia hangat isi rebung dan buku antologi puisi Gembok Sang Kala (Forum Sastra Surakarta, 2012).Â
Beberapa menit setelah basa-basi di teras, kami pun terlibat pembicaraan ngalor-ngidul mengenai kehidupan sastra Yogyakarta, proses kreatif penciptaan puisi, dan hal-hal nyeleneh atau "absurd" yang dilakukan beberapa teman sastrawan.
Kopi hitam pahit kesukaan Dedet, racikan Ibu Negara Omah Ampiran pun tersaji dengan aroma robusta menggoda. Lengkaplah sudah sajian di atas meja teras: lumpia rebung plus kopi lampung---nikmat manalagi yang bisa didustakan?
Dedet Setiadi, penyair Jawa Tengah, salah satu puisinya menjadi puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali, dalam proses kreatifnya pernah nyantrik kepada Kriapur yang puisinya pada tahun 1980-an sudah terpampang di berbagai koran nasional dan majalah sastra paling bergengsi, Horison.Â
Dedet yang puisi-puisinya termuat dalam antologi Konstruksi Roh (UNS Solo, 1984), Puisi Indonesia 87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Vibrasi Tiga Penyair (Tiwikrama, 1990), Jentera Terkasa (Taman Budaya Jateng, 1998), Bersepeda ke Bulan (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2011), dan Pengakuan Adam di Bukit Huka (Teras Budaya Jakarta, 2015), kemudian seperti terjebak menciptakan puisi-puisi menyerupai ciptaan Kriapur dengan tema seputar maut, kematian, serta segala sesuatu berbau-bau filsafat.Â
Tetapi lama-kelamaan perasaan ngerinya terhadap maut dan kematian kian menghantuinya. Terlebih setelah kepergian Kriapur karena kecelakaan di Batang, Jawa Tengah.Â
Hal ini membuat Dedet menghayati kembali penciptaan puisi dengan tema-tema personal pedesaan. Lahirlah puisi "Fragmen Perjalanan (1)", mencerminkan kehidupan masyarakat agraris yang erat dengan tradisi dan budaya Jawa. Elemen-elemen dalam puisi ini antara lain pecut, blangkon, dan surjan sangat khas dengan kehidupan pedesaan di Jawa.
Di samping itu ada pula puisi "Di Makam Kakek," menggambarkan perjalanan penyair ke makam Marto Singo, sang kakek, dan refleksi terhadap sejarah pribadi dan kolektif yang terkandung di dalamnya.
Diksi dan metafora selop hitam, keris, serta surjan menunjukkan penghormatan penyair kepada tradisi dan identitas budaya Jawa.
"Alam pedesaan mampu memvisualisasikan apa yang ada dalam pemikiran. Ini menjadikan puisi-puisi saya tidak abstrak. Puisi, bagi saya adalah sesuatu yang konkret," jelas Dedet.