Tak dapat dipungkiri bahwa ada tiga hal yang selayaknya dipertimbangkan dengan matang dalam mencukupi  kehidupan ini, yaitu sandang, pangan, dan papan. Ketiganya merupakan kebutuhan (material) dasar dalam kehidupan manusia.
Papan mewakili tempat berlindung yang aman, sandang merupakan pakaian atau pelindung tubuh, dan pangan memberikan energi dan nutrisi dalam menjaga kesehatan. Tiga faktor tersebut memainkan peran vital dalam menjaga kesejahteraan fisik dan mental.
Seperti pernah saya kutip dari buku Omah: Membaca Makna Rumah Jawa; Norberg Schulz- arsitek kawakan- menyatakan bahwa rumah (papan) berperan dalam mewujudkan posisi di dunia ini.Â
Pendapat tersebut berkolerasi dengan makna rumah dalam budaya Jawa sebagai tempat metu, manten, dan mati (keluar, menikah, dan meninggal).
Begitu pentingnya arti rumah dalam kehidupan, sehingga bagi orang-orang tertentu, termasuk saya, rumah merupakan prioritas yang harus dimiliki. Artinya, uang hasil kerja sedapatnya disisihkan demi membeli rumah.
Saat berpikiran  meninggalkan  rumah tabon (milik orang tua) di Jetisharjo, Yogyakarta, pada awal tahun 1999, maka yang terpikirkan  pertama kali adalah kontrak rumah.Â
Tapi dalam perjalanan dari Jalan AM Sangaji menuju Jalan Godean (pemilik rumah) dalam rangka membayar uang kontrakan, pemikiran itu goyah.  Bukan karena dibegal atau dicopet di tengah jalan, melainkan karena Ibu Negara Omah Ampiran tertarik pada  iklan penjualan perumahan dengan uang muka enam jutaan.
"Kalau harus bayar kontrakan empat juta untuk dua tahun, apa tidak lebih baik membayar uang muka perumahan enam juta? Toh kekurangannya bisa cari utangan koperasi?" tanya Ibu Negara.
Wah, cerdas juga pemikiran Ibu Negara. Andai kontrak, niscaya cuma bisa menempati rumah sementara waktu dan jangka dua tahun akan terasa begitu cepat. Sedangkan kalau nyicil perumahan, berarti mengeluarkan uang (cicilan) tetapi pasti mendapatkan rumah.
Sebagai PNS golongan tiga dengan gaji satu jutaan, tentu harus berhitung secara njelimet. Untungnya kami masih mendapat rumah dengan harga terjangkau setelah resesi ekonomi akhir tahun 1997, meskipun letaknya tiga belas kilometer di sisi barat kota Yogyakarta.Â