"Tante boleh menikah dengan ayah, tetapi tidak boleh mengubah susunan barang-barang di rumah. Apalagi melepas foto-foto ibu yang ada di dinding," jelas Tari serius saat Mas Panggah mengajaknya mampir ke rumah keluarganya di Jalan Sawo Kecik.
Ketika itu, Salindri menjawab ringan, "Iya, tante tidak akan menggeser satu barang pun, apalagi melepas foto-foto yang menempel di dinding."
**
Kini Salindri menyesali kesanggupan yang pernah diucapkannya kepada Tari, putri Mas Panggah satu-satunya.
Tari lahir dua puluh dua tahun lalu dari pernikahan Mas Panggah dengan Widowati. Tiga tahun silam Widowati mengalami serangan jantung mendadak  setelah berziarah ke makam keluarga.Â
Sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi Tuhan berkehendak lain, perempuan pekerja di kantor pemerintahan sekaligus pengusaha catering itu terlambat mendapat penanganan dokter dan menutup mata untuk selama-lamanya.
Panggah, pensiunan kantor pemerintah, menerima takdir sebagai duda. Setelah seribu hari lebih sepeninggal Widowati, Â pihak keluarga menyarankan agar ia menikah lagi.Â
Panggah berkali-kali menggelengkan kepala karena toh peran Widowati sudah digantikan Tari yang setiap hari mengurus dirinya, membuatkan teh, menyiapkan makan, membersihkan rumah. Kebersamaan itu terus berlanjut saat Tari sudah bekerja, bahkan menikah dan punya bayi mungil.Â
Tari tetap tinggal di rumah orang tuanya karena suaminya bekerja di luar kota dan pulang setiap seminggu sekali. Panggah memang meminta anak dan menantunya tetap serumah dengannya, menemani.
Alasan lainnya ia belum mau menikah lagi karena faktor usia dan ia masih belum mendapat jawaban Tuhan lewat tahajudnya agar diberi jodoh terbaik atas ridho-Nya.
Bagi Salindri, sosok Panggah bukanlah lelaki asing. Mereka dulu satu SMA dan pernah dekat. Saat itu Panggah kelas tiga, sedangkan Salindri kelas satu.Â