Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wit Tanjung, Kenangan, dan Sejarah

13 Februari 2024   18:25 Diperbarui: 13 Februari 2024   18:29 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kumpulan carita Wit Tanjung ing Ngiringan Omah (Bu Ageng Cicit, Interlude, 2023) berhasil meraih  Hadiah Sastra Rancage 2024, mengalahkan nominasi karya sastra Jawa lainnya: Ngleluri  (St. Sri Emyani), Tan Peng Nio  (Ki Sudadi), dan Gendhelan Geguritan Piye Jal  (D' Eros Sudarjono). 

Menurut Etti, Ketua I Yayasan Kebudayaan Rancage, saat pengumuman pemenang (31/1/2024), jumlah buku yang dinilai juri untuk penghargaan tahunan yang ke-36 terkumpul 45 judul. Sebanyak 11 buku di antaranya merupakan karya sastra Sunda, 18 judul karya sastra Jawa, dan 12 judul karya sastra Bali, serta 4 judul cerita anak-anak berbahasa Sunda.

Endah Sr dan Cak Kandar/Foto: Endah dan Hermard
Endah Sr dan Cak Kandar/Foto: Endah dan Hermard
Kalau ada dua nama yang layak disebut dalam proses penerbitan kumpulan cerita Wit Tanjung ing Ngiringan Omah (karya Bu Ageng Cicit), tak lain adalah Endah Sr, anggota komunitas Kembang Adas, dan Cak Kandar, pengageng penerbit Interlude.

"Saat membaca karya-karya Bu Cicit yang kebanyakan formatnya ditulis seperti naskah drama, kok saya merasa eman-eman kalau hanya dipentaskan. Harusnya diterbitkan agar dibaca banyak orang dan kemungkinan diterjemahkan," ujar Endah Sr saat peluncuran kumpulan cerita Wit Tanjung ing Ngiringan Omah (15/4/2023) di acara Sastra Bulan Purnama, Museum Sandi Yogyakarta.

Perempuan yang pernah bersekolah di Jurusan Jurnalistik, Ilmu Komunikasi UGM itu kemudian menyediakan diri membaca ulang beberapa karya Bu Cicit dan mencoba melakukan pembenahan awal agar bisa dibaca dengan nyaman.

Hal lain yang kemudian terpikirkan  berkaitan dengan sulitnya mencari penerbit karena pembaca sastra Jawa sangat segmented.

"Mana ada penerbit yang  berani mengambil risiko untuk menerbitkan buku dengan pembaca tidak terlalu banyak. Untungnya saya nemu nama Cak Kandar," tutur perempuan yang pernah bekerja sebagai Program Director di Radio Buku.

Di kalangan pecinta sastra Yogyakarta, nama Cak Kandar sudah tidak  asing lagi. Lelaki lulusan Fakultas Kehutanan UGM, terpanggil mengurusi sastra setelah mendengarkan pembacaan puisi   RRI Yogyakarta, kemudian terlibat dalam komunitas Studio Pertunjukan Sastra.

Buku pemikat hati/Foto: Interlude
Buku pemikat hati/Foto: Interlude
Lelaki low profile ini baru dalam kurun delapan tahun terakhir gliyak-gliyak ngopeni penerbitan buku sastra Jawa berkat dorongan Iman Budhi Santosa dan terpengaruh karya-karya Djajus Pete.

Tahun 2010, Cak Kandar terperangah dengan kumpulan cerkak Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djajus Pete. Ia takjub dengan cerita-cerita di buku itu kemudian  menyesali mengapa  baru menemukan cerita basa Jawa  berbobot dan melahirkan kesadaran untuk  membaca dan menekuni karya sastra Jawa.

Tahun 2015, menjadi penanda gliyak-gliyak  Cak Kandar. Lewat penerbit Interlude, ia tetanen sastra Jawa dengan  menerbitkan antologi geguritan (puisi) Sesanti Tedhak Siti  (Iman Budhi Santosa), kemudian pada tahun 2020 menerbitkan kumpulan cerkak (cerpen) Manuk-Manuk Mabur   (Djajus Pete). 

Disusul karya sastra Jawa dari berbagai pengarang. Kini tengah menyiapkan penerbitan cetak ulang antologi cerkak Ratu karya Krishna Mihardja.

Kritik sosial lewat cerkak/Foto: Kandar
Kritik sosial lewat cerkak/Foto: Kandar
Setelah menerima pelimpahan naskah karya Bu Cicit, lelaki penulis puisi ini pun bekerja sepenuh hati mengalihmediakan karya dari format naskah pertunjukan menjadi cerita pendek.

"Saat itu saya belum pernah sekalipun bertemu dengan Bu Cicit. Tapi saya meyakini cerita Wit Tanjung bukanlah sebuah fiksi, melainkan pengalaman personal penulisnya. Cerita itu memiliki kedalaman sehingga pembaca akan terbawa hanyut dalam peristiwa sejarah memilukan 1965  yang dialami tokoh Dhatu. Ceritanya terasa personal. Bahkan nama-nama tokohnya tidak biasa, unik," papar Cak Kandar (12/2/2024) di Omah Ampiran.

Dalam proses alih media itu, sekaligus ia mematutpantaskan beberapa calon cover yang diberikan Widyatmoko Koskow. Ia merekonstruksi dengan mengambil gambar pohon, burung, dan kursi watu sebagai simbol mewakili keseluruhan cerita.

"Bagi saya, kalau Wit Tanjung meraih penghargaan Rancage, itu memang layak, ia mendapatkan rumah yang pas. Selama ini belum ada tradisi menulis cerpen, dalam sastra Jawa, sepanjang enam puluh sampai delapan puluh halaman. Ceritanya sangat naratif. Makanya di sampul depan, tertulis kumpulan carita Bu Ageng Cicit, bukan antologi cerkak. Buku setebal seratus enam puluh halaman lebih, hanya memuat tiga cerita," jelas Cak Kandar.

Bagi Cak Kandar, menerbitkan buku-buku sastra Jawa adalah saderma ajar nandur wiji keli, rengeng-rengeng dalam upaya neruske laku, ajar olah tetanen buku.

Meskipun buku Wit Tanjung Ngiringan Omah hanya berisi tiga cerita, namun pikiran dan imaji pembaca akan diajak melancong pada kurun waktu yang cukup jauh. Dari zaman geger 1965 ke geger Tumapel, lalu menyusuri kehidupan para rakai di zaman Mataram Kuno. Tentang perempuan bernama Dhatu, Selirang dan Arok, juga tentang Rakai Warak.

"Buku ini memuat tiga cerita dalam tarikan napas yang begitu panjang. Membaca Rakai Warak dengan opening yang sangat bagus, saya terpaksa membuka-buka buku mengenai Mataram Kuno, " ujar Cak Kandar.

Bu Ageng Cicit/Foto: dokpri Cicit
Bu Ageng Cicit/Foto: dokpri Cicit
Saat menyampaikan proses kreatif penulisan, Bu Ageng Cicit mengungkapkan rasa trauma dan ketakutannya pada pemerintah Orde Baru. Ia takut diciduk. Baru sekarang perempuan yang menjadi ketua komunitas Kembang Adas itu berani mengungkapkan kegelisahan hatinya lewat Wit Tanjung Ngiringan Omah. 

Cerita itu bukan sekadar imajinasi, tapi merupakan  kisah nyata. Menceritakan tokoh perempuan bernama Dhatu, berkorban demi suami,  mendapat perlakuan semena-mena karena ia dituduh sebagai anggota Gerwani/PKI. Bahkan ia diperkosa oleh sipir penjara.

"Itu kisah sejati. Sebenarnya yang kena fitnah calon suami, tapi seolah-olah yang kena fitnah tokoh perempuan. Suamiku mati digantung massa tahun 1966 dalam peristiwa G 30 S," ujar Bu Cicit haru.

Ia mengaku senang blusukan ke situs-situs sejarah bersama beberapa teman.  Setelah pulang, melamunkan masa lalu, menemukan nama-nama untuk tokoh cerita.

Pengagum Bu Cicit/Foto: dokpri Endah
Pengagum Bu Cicit/Foto: dokpri Endah
"Kehebatan Bu Cicit karena ia bisa menemukan nama-nama  yang unik, bukan dicari-cari, untuk tokoh-tokohnya. Membaca cerita dalam Wit Tanjung Ngiringan Omah, berarti kita membaca testimoni kesaksian Bu Cicit tentang sejarah," papar Dhanu Priyo Prabowo saat peluncurun buku di Museum Sandi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun