Disusul karya sastra Jawa dari berbagai pengarang. Kini tengah menyiapkan penerbitan cetak ulang antologi cerkak Ratu karya Krishna Mihardja.
Setelah menerima pelimpahan naskah karya Bu Cicit, lelaki penulis puisi ini pun bekerja sepenuh hati mengalihmediakan karya dari format naskah pertunjukan menjadi cerita pendek.
"Saat itu saya belum pernah sekalipun bertemu dengan Bu Cicit. Tapi saya meyakini cerita Wit Tanjung bukanlah sebuah fiksi, melainkan pengalaman personal penulisnya. Cerita itu memiliki kedalaman sehingga pembaca akan terbawa hanyut dalam peristiwa sejarah memilukan 1965 Â yang dialami tokoh Dhatu. Ceritanya terasa personal. Bahkan nama-nama tokohnya tidak biasa, unik," papar Cak Kandar (12/2/2024) di Omah Ampiran.
Dalam proses alih media itu, sekaligus ia mematutpantaskan beberapa calon cover yang diberikan Widyatmoko Koskow. Ia merekonstruksi dengan mengambil gambar pohon, burung, dan kursi watu sebagai simbol mewakili keseluruhan cerita.
"Bagi saya, kalau Wit Tanjung meraih penghargaan Rancage, itu memang layak, ia mendapatkan rumah yang pas. Selama ini belum ada tradisi menulis cerpen, dalam sastra Jawa, sepanjang enam puluh sampai delapan puluh halaman. Ceritanya sangat naratif. Makanya di sampul depan, tertulis kumpulan carita Bu Ageng Cicit, bukan antologi cerkak. Buku setebal seratus enam puluh halaman lebih, hanya memuat tiga cerita," jelas Cak Kandar.
Bagi Cak Kandar, menerbitkan buku-buku sastra Jawa adalah saderma ajar nandur wiji keli, rengeng-rengeng dalam upaya neruske laku, ajar olah tetanen buku.
Meskipun buku Wit Tanjung Ngiringan Omah hanya berisi tiga cerita, namun pikiran dan imaji pembaca akan diajak melancong pada kurun waktu yang cukup jauh. Dari zaman geger 1965 ke geger Tumapel, lalu menyusuri kehidupan para rakai di zaman Mataram Kuno. Tentang perempuan bernama Dhatu, Selirang dan Arok, juga tentang Rakai Warak.
"Buku ini memuat tiga cerita dalam tarikan napas yang begitu panjang. Membaca Rakai Warak dengan opening yang sangat bagus, saya terpaksa membuka-buka buku mengenai Mataram Kuno, " ujar Cak Kandar.
Saat menyampaikan proses kreatif penulisan, Bu Ageng Cicit mengungkapkan rasa trauma dan ketakutannya pada pemerintah Orde Baru. Ia takut diciduk. Baru sekarang perempuan yang menjadi ketua komunitas Kembang Adas itu berani mengungkapkan kegelisahan hatinya lewat Wit Tanjung Ngiringan Omah.Â
Cerita itu bukan sekadar imajinasi, tapi merupakan  kisah nyata. Menceritakan tokoh perempuan bernama Dhatu, berkorban demi suami,  mendapat perlakuan semena-mena karena ia dituduh sebagai anggota Gerwani/PKI. Bahkan ia diperkosa oleh sipir penjara.
"Itu kisah sejati. Sebenarnya yang kena fitnah calon suami, tapi seolah-olah yang kena fitnah tokoh perempuan. Suamiku mati digantung massa tahun 1966 dalam peristiwa G 30 S," ujar Bu Cicit haru.
Ia mengaku senang blusukan ke situs-situs sejarah bersama beberapa teman. Â Setelah pulang, melamunkan masa lalu, menemukan nama-nama untuk tokoh cerita.