Seandainya ada lebih banyak kaum politik memahami  puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin, dunia yang kita diami ini akan menjadi tempat yang sedikit lebih baik. (John F. Kennedy)
Kita tak perlu heran  jika sampai debat Capres kelima (4/2/2024),  ketiga capres belum mengelaborasi isu kebudayaan/kesenian. Bukankah sejak lampau kita (memang) terlalu abai terhadap masalah isu kesenian dan kebudayaan?Â
Ketika tetangga (negara) sebelah mengklaim bahwa batik,  tarian, reog, wayang, kuda lumping merupakan milik mereka, barulah kita  ribut-ribut sendiri mencari bukti otentik sebagai pemilik  sah dari berbagai seni budaya yang diakui orang lain sebagai milik mereka.Â
Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat kita, termasuk pemerintah, mendudukan kebudayaan pada posisi  kurang strategis, kurang seksi, termasuk di dalamnya masalah sastra (bagian dari kebudayaan) yang hanya dipandang sebelah mata.Â
Padahal isu mengenai kebudayaan  dan politik terkadang hadir sebagai pembicaraan hangat dan berkepanjangan.
Sastra dan Politik
Dalam konteks pembicaraan ini, saya teringat pemikiran Ariel Heryanto dalam perdebatan sastra kontekstual dan Sapardi Djoko  Damono saat menyampaikan pidato pengukuhan  sebagai guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ariel menyatakan bahwa sastra tidak pernah terlepas dari kepentingan-kepentingan politis, keduanya memiliki persinggungan-persinggungan.Â
Pembenaran pemikiran tersebut setidaknya dapat kita cermati dari kasus pelarangan terhadap seniman Butet Kartaredjasa untuk tidak berbicara terkait politik dalam pergelaran pentas teater Musuh Bebuyutan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (1/12/2023).
Wole Soyinka, seorang sastrawan Nigeria, yang terpaksa melarikan diri dari negaranya karena mendapat tekanan dari pemerintahnya. Wole Soyinka adalah dramawan terkemuka Afrika, orang pertama dari benua itu yang pada tahun 1986 menerima Hadiah Nobel untuk Kesusastraan.Â
Contoh kasus serupa ditunjukkan Sapardi dengan tulisan dalam majalah Time edisi 5 Desember 1994.  Dimuat berita ringkas mengenaiDi mata pemerintah kaum militer yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1993, ia dianggap terlalu keras berbicara membela demokrasi, mengungkapkan kritik  terhadap berbagai masalah sosial politik negerinya.