"Saya tersesat di jalan yang benar," begitulah jawaban bijak Saiful Bachri (36), lulusan Jurusan Komunikasi UGM, saat ditanya mengapa bidang yang kini ditekuninya-menghayati dengan suntuk dunia pewarna alam-jauh melenceng dari latar belakang pendidikan yang ditempuhnya.Â
Bisa saja lelaki kelahiran 1988 ini meraih profesi sebagai public relation atau jurnalis, kenyataannya ia benar-benar jatuh hati menggeluti misteri keelokan pewarna alam.
Kegilaannya terhadap pewarna alam (diaplikasikan ke berbagai media kain) dimulai dari ketertarikan pada gambar ilustrasi, nyablon kaos, menemani ibu-ibu di Moyudan, Sleman, menggeluti stagen -dari pengadaan sampai penjualan- dan akhirnya memberi warna benang dengan nyelup sendiri yang kemudian ditenun (dengan ATBM) menjadi stagen.Â
Kegiatan itu ditekuni sembari melakukan berbagai eksperimen menggunakan pewarna alam, terjadi sekitar tahun 2016. Tiga tahun kemudian, Ipul (sapaan akrab Saiful Bachri) barulah menekuni pewarna alam secara lebih intens.Â
Baginya, pewarna alam seperti pohon besar yang bisa dieksplorasi batang, ranting, dan daunnya, dengan berbagai macam teknik.Â
Sampai sekarang ia sudah memanfaatkan lima belas pohon sebagai pewarna, di antaranya manggis, alpukat, tegeran, akasia, tingi, mahoni, jolawe, indigofera, dan secang. Rasa penasaran terhadap pohon dan aneka warna terus membuatnya menghayati lika-liku pewarna alam.
"Pigmen tanaman ternyata unik, tidak dapat diduga secara persisi. Ia serupa makhluk hidup, dinamis. Kita harus bersedia menerima hasil akhir pigmentasi," jelas Ipul.
Pigmen indigo, misalnya, jika diperlakukan secara organik, mau tidak mau, melewati proses fermentasi dengan mendiamkannya semalaman, memberi ruang bermain. Sebaliknya jika diproses secara non-organik, hanya memerlukan waktu dua jam, pewarnaan selesai dan pengerjaannya tidak memiliki sensasi apa-apa.
Di sisi lain, tanaman magrove, pigmennya substantif, kuat, dan gampang melekat pada serat kain. Sedangkan tingi menghasilkan warna yang wantek.
Pigmen warna indigo alami diperolah dari ekstraksi daun indigofera. Tanaman difermentasi dalam tong besar dan memunculkan buih-buih di permukaan cairan seperti sedang bernapas.
Warna indigo mendapat perlakuan berbeda (khusus), karena sebelum ada rekayasa sintetis, warna biru terbilang langka, meskipun sudah dikenal lama oleh para leluhur. Sedangkan dari sisi historis, indigo dikenal luas di Jepang, Eropa, dan Amerika.Â
Konon, dalam budaya Jepang, warna indigo paling umum digunakan. Selama Zaman Edo, bangsawan Samurai memakai kain berwarna indigo sebagai dalaman baju besi untuk membantu penyembuhan kulit yang terluka. Warna ini pun menjadi sangat identik dengan Jepang sehingga dijuluki Japanesse Blue (BahanKain.com).