Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Ipul di Antara Pigmen, Indigo, dan Keunikan Pewarna Alam

19 Januari 2024   09:46 Diperbarui: 21 Januari 2024   12:40 1513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ipul dan kibaran pewarna alam. (Foto: Hermard & Sekadargambar/SB)

"Saya tersesat di jalan yang benar," begitulah jawaban bijak Saiful Bachri (36), lulusan Jurusan Komunikasi UGM, saat ditanya mengapa bidang yang kini ditekuninya-menghayati dengan suntuk dunia pewarna alam-jauh melenceng dari latar belakang pendidikan yang ditempuhnya. 

Bisa saja lelaki kelahiran 1988 ini meraih profesi sebagai public relation atau jurnalis, kenyataannya ia benar-benar jatuh hati menggeluti misteri keelokan pewarna alam.

Kegilaannya terhadap pewarna alam (diaplikasikan ke berbagai media kain) dimulai dari ketertarikan pada gambar ilustrasi, nyablon kaos, menemani ibu-ibu di Moyudan, Sleman, menggeluti stagen -dari pengadaan sampai penjualan- dan akhirnya memberi warna benang dengan nyelup sendiri yang kemudian ditenun (dengan ATBM) menjadi stagen. 

Kegiatan itu ditekuni sembari melakukan berbagai eksperimen menggunakan pewarna alam, terjadi sekitar tahun 2016. Tiga tahun kemudian, Ipul (sapaan akrab Saiful Bachri) barulah menekuni pewarna alam secara lebih intens. 

Larutan pewarna alam. (Foto: Hermard)
Larutan pewarna alam. (Foto: Hermard)
Baginya, pewarna alam seperti pohon besar yang bisa dieksplorasi batang, ranting, dan daunnya, dengan berbagai macam teknik. 

Sampai sekarang ia sudah memanfaatkan lima belas pohon sebagai pewarna, di antaranya manggis, alpukat, tegeran, akasia, tingi, mahoni, jolawe, indigofera, dan secang. Rasa penasaran terhadap pohon dan aneka warna terus membuatnya menghayati lika-liku pewarna alam.

"Pigmen tanaman ternyata unik, tidak dapat diduga secara persisi. Ia serupa makhluk hidup, dinamis. Kita harus bersedia menerima hasil akhir pigmentasi," jelas Ipul.

Pigmen indigo, misalnya, jika diperlakukan secara organik, mau tidak mau, melewati proses fermentasi dengan mendiamkannya semalaman, memberi ruang bermain. Sebaliknya jika diproses secara non-organik, hanya memerlukan waktu dua jam, pewarnaan selesai dan pengerjaannya tidak memiliki sensasi apa-apa.

Di sisi lain, tanaman magrove, pigmennya substantif, kuat, dan gampang melekat pada serat kain. Sedangkan tingi menghasilkan warna yang wantek.

Pigmen warna indigo alami diperolah dari ekstraksi daun indigofera. Tanaman difermentasi dalam tong besar dan memunculkan buih-buih di permukaan cairan seperti sedang bernapas.

Warna indigo mendapat perlakuan berbeda (khusus), karena sebelum ada rekayasa sintetis, warna biru terbilang langka, meskipun sudah dikenal lama oleh para leluhur. Sedangkan dari sisi historis, indigo dikenal luas di Jepang, Eropa, dan Amerika. 

Konon, dalam budaya Jepang, warna indigo paling umum digunakan. Selama Zaman Edo, bangsawan Samurai memakai kain berwarna indigo sebagai dalaman baju besi untuk membantu penyembuhan kulit yang terluka. Warna ini pun menjadi sangat identik dengan Jepang sehingga dijuluki Japanesse Blue (BahanKain.com).

Nama indigo diambil dari nama tumbuhan genus Indigofera (Indigofera Tinctoria), penghasil zat warna ini. Di bidang tekstil, pewarna alami indigo diterapkan pada teknik pewarnaan Shibori menggunakan kain berserat alam.

Mengutip dari BahanKain.com, dijelaskan bahwa indigo merupakan pewarna kuno, diperoleh dari Woad (Isatis Tinctoria) atau Indigofera (Indigofera Tinctoria). Keduanya merupakan tanaman penghasil warna kebiruan sekaligus obat tradisional. 

Warna indigo atau nila pertama kali dibuat di India. Ditemukan di Peradaban Lembah Indus, diperkirakan berasal dari Zaman Perunggu (3300-1300 SM). 

Pigmen unik yang dinamai nila ini diperoleh melalui proses ekstraksi daun tanaman indigofera. Daun diolah menjadi bubuk lalu direbus sampai membentuk cairan kental. Selanjutnya, larutan difermentasi hingga menghasilkan warna biru keunguan yang khas.

Pewarna indigo versus tingi berkolaborasi dengan jolawe. (Foto: Sekadargambar/SB)
Pewarna indigo versus tingi berkolaborasi dengan jolawe. (Foto: Sekadargambar/SB)
Dalam proses pewarnaan alam, indigo memerlukan glukosa (gula), bisa menggunakan gula jawa, gula aren, maupun tetes tebu, juga kapur. Indigo dengan gula aren, warna birunya menjadi lebih segar (biru cerah); sedangkan indigo memakai tetes tebu akan menghasilkan warna biru kehijauan.

Pigmen indigo bisa dicampur dengan pigmen dari tanaman lain dan akan menghasilkan berbagai warna baru.

Jika indigo dipadukan dengan pigmen jolawe cenderung menghasilkan warna biru-abu-abu; indigo plus pohon nangka menghadirkan warna biru agak gelap, sedangkan indigo dipadukan dengan tegeran menghasilkan warna biru kehijauan.

Perkawinan pigmen indigo. (Foto: Sekadargambar/SB)
Perkawinan pigmen indigo. (Foto: Sekadargambar/SB)
Begitupun setiap pigmen tanaman jika diberi unsur logam (misalnya tunjung, tawas) bisa menghasilkan tone warna berbeda-tidak berlaku untuk indigo.

Dalam pewarnaan alam dikenal istilah penguncian warna (fiksasi) untuk memperkuat warna pada kain dan menentukan tone warna sesuai jenis logam yang mengikat pigmen, yaitu tawas, kapur, dan tunjung.

Fiksasi merupakan hal menarik karena belum banyak dieksplorasi, terutama terhadap efek samping limbah yang dihasilkan. Dalam proses pewarnaan, pigmen masuk ke serat. Ketika tidak ada bahan tambahan (unsur logam), kemungkinan pigmen bisa bertahan kuat di serat, atau sebaliknya. 

Ini kembali ke karakter masing-masing pigmen. Secang, misalnya, relatif mudah luruh karena mengandung enzim. Juga kunyit, daya ikatnya relatif rendah.

Fiksasi dikenal juga dengan istilah mordan yang memiliki arti menggigit: pigmen menggigit medianya, yaitu proses pengikatan pigmen ke serat kain. Fiksasi merupakan proses pencelupan pigmen ke larutan logam, sedangkan mordan adalah larutan logam yang dicelupkan ke pigmen.

Untuk melekatkan pigmen ke serat kain, digunakan unsur logam berupa aluminium, kalsium, tawas, belerang, dan sebagainya. Nah dalam proses akhirnya perlu dipikirkan bagaimana pengelolaan limbah fiksasi agar tidak menimbulkan dampak negatif.

Ngangsu kawruh pewarna alam. (Foto: Hermard)
Ngangsu kawruh pewarna alam. (Foto: Hermard)
Tidak dapat dihindari, proses pewarnaan alam pun tetap akan meninggalkan limbah berupa air bilasan. Meskipun indigo tidak mengandung unsur logam karena proses pengikatan warnanya melalui oksidasi udara, tetapi tetap harus dibilas agar warnanya menjadi bright. 

Sisa bilasan inilah yang disebut limbah. Air limbah indigo bersifat basa, jika disiram langsung ke tanaman bisa menyebabkan tanaman rusak.

Proses lain agar indigo tidak terlihat mblabus, maka kain warna indigo harus ditreatment (netralisasi) menggunakan larutan asam.

"Supaya tidak menimbulkan limbah pencemaran, maka air sisa bilasan indigo yang bersifat basa, saya campurkan dengan sisa larutan asam, maka hasilnya menjadi netral, tidak membahayakan lingkungan, meskipun ini memerlukan kajian lebih lanjut," jelas Ipul.

Untuk pewarnaan non-indigo, bahan pewarnanya dipakai secara terus-menurus, tidak sekali pakai, sehingga tidak membuang larutan utamanya (mengandung unsur logam) yang dapat mencemari lingkungan. 

Jika larutan pewarna itu hanya digunakan sekali pakai, maka perlu dikelola dengan filterisasi agar lingkungan tetap aman. Bisa juga menetralkannya dengan perlakuan tertentu menggunakan ekoenzim.

Selasa siang (16/1/2024), saya diampirri Mas Wibawa, priyayi Kotagede, ngangsu kawruh mengenai pewarna alam bersama teman-teman pecinta pohon: Mas Fasis, Mas Surip, Prof Dwi Marianto di kediaman Mas Ipul (36) di bilangan Karang, Trimulyo, Sleman. 

Lelaki prasaja itu ditemani istri, Titi (31) dan anak, Auri (3), menyambut kedatangan kami di "ruang kerja"-nya dengan ramah. Ruang kerja di samping rumah itu dikelilingi pepohonan, ada tali jemuran untuk mengangin-anginkan hasil celupan. Tempat ini juga sering digunakan untuk workshop dan bimbingan privat pewarnaan alam.

Catherine (Swiss), mengambil kelas privat untuk berkenalan dengan warna tetumbuhan tropis. (Foto: Sekadargambar/SB)
Catherine (Swiss), mengambil kelas privat untuk berkenalan dengan warna tetumbuhan tropis. (Foto: Sekadargambar/SB)
Sepanjang sesrawungan ngangsu kawruh itu kami duduk melingkar di atas dingklik, mendengarkan pitutur Mas Ipul, ditemani teh hangat dan serabi berbalut daun pisang.

"Saya bersyukur bisa hadir di sini. Selama ini orang lain menganggap pigmen sebagai benda mati, partikel. Tapi Mas Ipul punya sisi pandang berbeda, ternyata pigmen itu sebagai makhluk hidup (mikroorganisme) yang mempunyai gelombang," tutur Prof Dwi Marianto di sela obrolan kami yang gayeng.

Menyimak. (Foto: Wibawa)
Menyimak. (Foto: Wibawa)
Untuk melestarikan pewarna alam, Ipul berharap ada pihak yang tertarik membuat konservasi tumbuhan khusus pewarna alam, terutama tanaman keras. Di samping itu, ia sendiri ingin mengeksplorasi tanaman perdu yang tumbuh liar, seperti Mangsi (menghasilkan warna keunguan), Suji (hijau), Bawang Dayak (merah marun) untuk pewarna alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun