Setiap mangkok berisi potongan ayam besar-besar. Satu ekor ayam dibagi empat, bagian  sayap dan paha. Kalau kebagian kepala, rempelo ati, berarti mendapatkan bonus. Kuahnya dilengkapi cabai rawit utuh dan taburan bawang goreng.
Rahasia kelezatan opor ayam Ngloram, selain racikan rempahnya juga karena  setiap satu ekor ayam dibumbui dengan satu butir kelapa dan pengolahannya dimasak di atas tungku besar memakai kayu bakar jati. Pengolahan opor ayam dilakukan Sutinah bersama Pak Pangat, suaminya.
"Semua demi menjaga  cita rasa opor kami tidak berubah. Jadi kami memerlukan setidaknya seratus sampai seratus lima puluh butir kelapa untuk jumlah ayam yang sama setiap harinya," jelas Pak Pangat sambil ngisis di depan warungnya.
Untuk memasak opor, Â lontong, Pak Pangat (65), sudah mencoba berbagai macam kayu bakar dan yang terbaik adalah kayu jati, di samping kayu sanakeling, dan kayu asem. Hanya saja kayu asem lebih panas sehingga boros dandang. Kayu jati panasnya stabil, aroma bakarannya harum, tidak banyak meninggalkan sisa arang/abu.
Lontong disiapkan malam hari. Dari jam sebelas atau dua belas. Diproses menggunakan tiga dandang besar. Pak Pangat mengolah sendiri lontongnya.
"Harus saya masak dan awasi sendiri selama empat jam. Memang  terpaksa begadang. Lebih dari empat ratus lontong di masak setiap malam. Saya betah melek asal ditemani rokok Sukun, kopi, dan sesekali mendengarkan wayang kulit," ujar Pak Pangat sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Selanjutnya lontong olahan Pak Pangat, disajikan bersama opor ayam kampung. Penikmat kuliner yang datang dipersilakan memotong sendiri dengan pisau kecil yang disertakan  dalam nampan lontong.
"Lontongnya terasa gurih, padat,  dan kenyal. Pas jika disiram dengan kuah opor kental. Rasanya maknyus. Tapi bagi yang tak suka pedas harus hati-hati dengan jebakan batman, keceplus cabe rawit isa megap-megap," kelakar Mas Noereska sebagai komandan perjalanan.
Pak Pangat pernah mengembara ke Kalideres, Jakarta, selama beberapa tahun, bekerja sebagai buruh  pabrik kertas. Pulang  setelah tahun 1997 dan membeli tanah yang sekarang di atasnya berdiri warung lontong opor Pak Pangat, di desa Ngloram, kecamatan Cepu, kabupaten Blora, Jawa Tengah. Di sinilah ia bersama Sutinah  merintis lontong opor untuk menghidupi keluarga.
Hidup Pak Pangat seperti pohon jati, memiliki keteguhan hati, kesejatian, tidak mudah diombang-ambingkan  hal-hal yang tidak baik.