Seandainya laut selatan bersahabat: angin tidak bertiup kencang, ombak tidak meninggi, dan udara tidak sepanas seperti siang ini, mungkin suami Yu Jiah (sebut saja begitu namanya) sudah pulang dari melaut  membawa ratusan ikan. Perempuan berusia mendekati kepala empat ini pun tak perlu bersusah payah menyisir dan berlarian sepanjang pantai Siung bersama lima temannya  dengan membawa ember dan karung goni plastik.Â
Sesekali tampak mereka membungkuk, jongkok, saat air laut meninggalkan tepian pantai. Tangan mereka dengan terampil memunguti sesuatu yang tertinggal di pantai. Salah satu dari mereka kadang mengorek-ngorek pasir, baik dengan tangan telanjang, maupun menggunakan alat menggali pasir. Mereka tak peduli pakaian yang dikenakan  basah kuyup dan sengatan matahari yang begitu panas mendera siang itu (4/11).
"Sedang mencari apa Mbak, kok dari tadi  berlarian terus?"
"Injih Mas, sawek pados jingking. Lha jingkingipun mlajar cepet. Nuwun sewu, panjenengan sinten? Menawi kula Yu Jiah-sedang mencari jingking yang terus berlarian cepat," jelas perempuan itu sambil memperlihatkan isi embernya. Tampak puluhan jingking memenuhi separo embernya.
Jingking menyerupai kepiting kecil, hidup di pantai berpasir. Kadang mereka berlindung di lubang sedalam tiga puluh sampai lima puluh centimeter, rumah yang bisa dimasuki jingking manapun juga. Jingking merupakan  Jenis hewan laut, kerap berlarian di tepi pantai.Â
Bagi yang tidak biasa menangkap hewan hexapoda ini, jelas akan mengalami kesulitan mendapatkannya. Tubuh kecilnya terlihat unik, tipis melebar seperti kepiting. Kecepatan larinya sungguh luar biasa. Dia akan diam membatu pada jarak aman, tetapi segera berlari cepat ketika seseorang  mendekat.Â
Posisi lari miring dengan kecepatan tak terduga, ditambah manuver zig-zag, menjadikan jingking tidak mudah ditangkap. Ia segera menghilang ketika menyentuh ombak atau masuk ke dalam lubang. Jingking melimpah ruah saat bulan Juli-September.
Saat ditanya mengapa berburu jingking, Yu Jiah mengatakan tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan. Hanya dengan cara inilah ia bisa membantu suaminya yang tidak melaut karena sedang musim paceklik ikan. Ombak besar dan cuaca panas, menyebabkan banyak nelayan memilih tinggal di rumah.Â
Jika melaut menggunakan perahu jukung setidaknya harus mengeluarkan biaya pembelian solar dua ratus ribu rupiah dan hasil tangkapan belum tentu bisa menutup biaya melaut. Paling hanya akan membawa pulang lima belas kilo ikan. Dalam situasi seperti ini, maka melaut semacam pertaruhan tak menguntungkan.
"Pados jingking, lumayan, cekap kangge njagi pawon tetep ngebul-mencari jingking hasilnya lumayan, bisa untuk bertahan hidup, menjaga dapur tetap ngepul," jelas Jiah bersemangat sambil memasukan jingking dari ember hitam ke karung goni plastik yang digantung di batu karang raksasa.