Meja makan tiba-tiba menjadi bahan obrolan para pengamat politik, kaum cerdik pandai, dan masyarakat awam yang mengikuti berita-berita mengenai bagaimana calon pemimpin mempersiapkan diri sebaik mungkin agar bisa menjadi orang nomor satu di republik ini.Â
Keriuhan meja makan (bagi awak media) terjadi ketika bakal capres Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto menghadiri undangan makan siang Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/10/2023).Â
Bukan hanya soal meja makan saja, tapi apa yang disantap, posisi duduk, dan pakaian yang dikenakan, bahkan pesan serta sikap Presiden Jokowi pun menjadi "obrolan" lentur yang bisa dilentingkan kemanapun, sesuai dengan horison harapan masing-masing orang yang menonton, meliput, dalam membangun sebuah narasi.
Membicarakan meja makan, saya teringat saat masih kanak-kanak diwajibkan ayah dan ibu untuk sarapan, makan siang, maupun makan malam di meja makan. Jadi saat makan, pasti saling menunggu hingga semua kursi yang mengelilingi meja terisi (ayah, ibu, kakak, saya, dan adik). Jika belum lengkap, "upacara" makan belum dimulai. Begitulah cara orang tua kami memaknai meja makan sebagai momen berkumpulnya keluarga, menciptakan simbol kebersamaan.Â
Sebelum, setelah, atau di sela-sela makan sering kali terjadi obrolan ringan mengenai kejadian di sekolah, soal bermain sepak bola di bawah hujan lebat, Â cerita lucu saat ketemu orang gila di pasar, dan seribu satu cerita lainnya.Â
Anak-anak pantang meninggalkan meja makan sebelum ayah dan ibu selesai menyantap hidangan mereka. Ini pamali, merupakan salah satu cara memberi penghormatan terhadap orang tua. Selama makan wajib menjaga etika: tak boleh mengecap (makan sambil mulut mengeluarkan bunyi kecap-kecap -- seperti saat bebek makan), tidak tergesa-gesa, nasi (termasuk lauk pauk dan sayur) yang sudah diambil harus dihabiskan, jika nasi panas makannya dari pinggir (tepi piring).
Dari kebiasaan makan satu meja inilah, saya bercita-cita jika sudah berkeluarga akan meneruskan tradisi makan bersama dengan mengelilingi meja makan berukuran besar. Apakah keinginan itu tercapai?Â
Ternyata mengumpulkan seluruh anggota keluarga tidak semudah pada tahun 1980-an karena perkembangan teknologi, tuntutan dunia pendidikan, tuntutan dunia kerja mengharuskan masing-masing anggota keluarga terjebak dalam kesibukan masing-masing. Mirisnya lagi, ternyata rumah yang kami huni hanya cukup diisi meja tamu, tidak untuk meja makan!
Meskipun demikian, tidak mengherankan jika meja makan  dapat melambangkan tempat untuk berinteraksi sosial, berbicara, dan berbagi cerita. Baik interaksi dalam keluarga, maupun interaksi politik antara para tokoh elite: Presiden Jokowi bersama  para bacapres untuk menciptakan suasana politik yang adem.Â
Mungkin  para elite juga saling membisikan keprihatinan mereka dan mengevaluasi agar peristiwa yang terjadi di Muntilan (15/10/23) yang melibatkan salah satu partai dan GPK, menyebabkan 11 motor terbakar dan 3 rumah penduduk rusak, tidak terulang kembali. Bayangkan saja, belum lagi memasuki masa kampanye, kerusuhan sudah terjadi dan membuat jalan Yogyakarta-Muntilan macet parah.
Sudah sewajarnya jika dalam  makan siang bersama di Istana Kepresidenan itu, dimaknai sebagai upaya menjaga agar tahun politik berjalan dengan baik, sebagaimana  disampaikan Prabowo, misalnya, mengatakan jamuan makan tersebut kental dengan suasana keakraban. Menurutnya, Jokowi berpesan agar ketiga bakal capres menjaga suasana Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 tetap baik- baik saja.