Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa dan Sumpah Pemuda

14 Oktober 2023   12:37 Diperbarui: 14 Oktober 2023   20:42 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerakan Cinta Bahasa Indonesia/Foto: Hermard

Prih Suharto, pensiunan Badan Bahasa, menunjukkan jiwa nasionalisme  Holy Adib, pengamat bahasa, saat memberi catatan terhadap buku  Sejarah Nama Bahasa Indonesia (Holy Adib, 2023) lewat facebook. Adib tidak segan mengkritik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena suka menyisipkan bahasa asing (Inggris) dalam pidatonya. Kritik lain ditujukan kepada staf Gubernur Sumatera Barat dengan banyaknya kesalahan dalam surat dinas gubernuran.

"Dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi, boleh saja Mendikbud menggunakan bahasa yang disisipi bahasa asing. Tapi, dalam percakapan resmi  seharusnya memberi contoh yang baik dalam berbahasa Indonesia. Apalagi, kantor yang gencar mengampanyekan agar bangga berbahasa Indonesia berada di bawah kementerian yang dipimpinnya," tulis Adib.

Kritik  untuk  staf Gubernur Sumatra Barat sebenarnya ditujukan ke bagian kesekretariatan (pembuat surat).

"Kalau Anda tidak mampu menulis surat gubernur dengan baik, berhentilah menulis surat dan serahkan pekerjaan itu kepada rekan Anda yang lebih layak  melakukannya atau kembalikan tugas itu kepada atasan yang menugasi Anda."

Apa yang dilakukan Adib, memperkuat makna Sumpah Pemuda dalam upaya   mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa,  tekad bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan (utamanya) berbahasa satu...

Ada beberapa hal yang layak digarisbawahi mengenai keinginan-keinginan memperkuat persatuan bangsa yang tercetus dalam Sumpah Pemuda. Muhammad Yamin (salah seorang tokoh pencetus dasar negara)  menjelaskan lima faktor pemerkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Artinya, perubahan penghayatan terhadap Sumpah Pemuda setidaknya dapat  diperhatikan melalui semangat persatuan, sejarah, bahasa, dan pendidikan kebangsaan.

Dari sisi pemahaman terhadap pelajaran sejarah dan bahasa, misalnya, ada pihak masih menyepelekan sejarah dan bahasa. Hal ini terjadi karena dalam dunia pendidikan (di Indonesia) yang menjadi unggulan adalah pelajaran berhitung (ilmu pasti). 

Efeknya, siswa dan orang tua akan merasa masgul jika ulangan matematika, fisika, atau kimia mendapat nilai rendah. Berbeda dengan  pelajaran sejarah/bahasa, berapa pun nilai yang didapatkan (asal naik kelas/lulus), bukan menjadi masalah besar karena tidak akan menghalangi harapan orang tua dalam mewujudkan cita-cita sang anak menjadi insinyur, dokter, pilot, dan profesi bergengsi lainnya.  Dari sini pelajaran sejarah/bahasa menjelma  menjadi "anak bawang",  ditempatkan ke wilayah pinggiran.

Tawuran/Foto: M.Lutfhi Rahman (Merdeka.com)
Tawuran/Foto: M.Lutfhi Rahman (Merdeka.com)
Saat ini semangat persatuan di kalangan remaja pun menjadi tanda tanya besar. Kita menyaksikan banyaknya kejadian  tawuran  antarsekolah, perundungan, perkelahian antarwarga kampung, bahkan bermunculan kelompok-kelompok geng meresahkan di kalangan remaja. Tak dinyana, beberapa geng itu beranggotakan  perempuan muda, pelajar yang semestinya berbudi luhur dan beradab. Mau tidak mau, ini mencederai makna Sumpah Pemuda dalam mewujudkan persatuan, kesatuan, dan  mempertebal rasa kebangsaan.

Pergeseran makna Sumpah Pemuda   dapat juga   dicermati  lewat penggunaan bahasa sehari-hari. Di kalangan remaja muncul bahasa-bahasa yang tidak mudah dipahami, misalnya bahasa prokem, bahasa alai, bahasa SMS, bahasa walikan,  bahasa gaul, atau mencampuradukkan pemakaian bahasa asing dengan bahasa Indonesia- tidak mendukung keberadaan bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa.

Boleh saja mencampuradukkan bahasa menjadi ungkapan  kreatif, terutama di dalam bahasa iklan dan bahasa sastra. Tetapi dalam komunikasi formal, penggunaan bahasa secara campur aduk merupakan gambaran krisis identitas seseorang.

Ini bukan berarti generasi muda tidak boleh memiliki bahasanya sendiri, hanya saja sebaiknya penggunaan bahasa selalu mempertimbangkan suasana dan konteks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun