Beberapa tahun lalu muncul isu  soal hilangnya Indonesia yang diramalkan akan terjadi pada tahun 2030, melahirkan beragam diskusi di berbagai media, warung kopi, dan pos ronda.Â
Romantisme mengenai Indonesia sebagai wilayah gemah ripah loh jinawi, negara  makmur sentosa di garis zamrud khatulistiwa: batu dan kayu tumbuh menjadi tanaman (Koes Plus), pusaka abadi nan jaya dipuja bangsa (Ismail Marzuki), seakan berubah  menjadi  isapan jempol bagi generasi milenial.Â
Pengamat politik M. Subhan menyarankan agar penulis novel fiksi ilmiah Ghost Fleet, Peter Warren Singer dan August Cole -yang menyebutkan bahwa Indonesia "hilang" Â dalam perang masa depan antara Amerika dan China - perlu membaca kisah Indonesia pada zaman prakolonialisme yang tetap kokoh meskipun hanya terdiri atas kerajaan-kerajaan dan terjadi perang penakhlukan--- akan tetapi tetap terjalin relasi, komunikasi, serta pemahaman bahwa mereka hidup dalam satu ruang bersama.Â
Hal tersebut didukung oleh  kesadaran kolektif pada awal abad ke-20, sehingga masyarakat Indonesia memiliki jiwa senasib; hidup bersama dengan konsensus, komitmen, dan kesediaan berkorban.
Sesungguhnya narasi sosial-budaya-politik bangsa Indonesia telah melewati dialog panjang. Kondisi ini tidak hanya tergambar dalam dunia nyata, melainkan dikisahkan juga dalam jagad imajinasi. Â
Kita menyadari bahwa persoalan yang selalu "mengundang perhatian" dalam realitas di Indonesia (juga negara lain) adalah persoalan ideologi, nasionalisme, dan kebudayaan. Ketiga persoalan itu menjadi menarik karena tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial politik dan berada dalam dua sisi mata uang tak terpisahkan.Â
Ideologi menjadi bagian tidak terelakkan dari sejarah kehidupan manusia.  Kasus pelarangan novel panglipur wuyung pada tahun 1960-an, pengadilan atas  cerita pendek "Langit Makin Mendung" karya Ki Panji Kusmin dan kecurigaan terhadap rangkaian novel Bumi Manusia serta Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, tidak dapat dilepaskan dari persoalan ideologi.
Di sisi lain, cerita mengenai nasionalisme dan kebudayaan menjadi daya tarik abadi sumber penulisan karya sastra.Â
Dalam sastra Indonesia, diskurs narasi nasionalisme dan kebudayaan berpangkal dari polemik kebudayaan  antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan beberapa tokoh lain yang mempersoalkan sikap bangsa Indonesia dalam memasuki kebudayaan baru: pertentangan masyarakat feodal-kolonialisme dengan kapitalisme Barat.Â
Dalam sastra Jawa, narasi nasionalisme dan kebudayaan berangkat dari perdebatan dua priayi Jawa awal abad ke-20, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetatmo Soerjokoesoemo, Â dilakukan pada saat pembukaan Volksraad (Dewan Rakyat) pada awal tahun 1918.Â
Menurut Takashi Shiraisi (cf. Budiawan, 1994), perdebatan itu merupakan perdebatan dalam mencari "identitas": debat antara nasionalisme Hindia (Tjipto) dan nasionalisme Jawa (Soetatmo). Tjipto Mangoenkoesoemo melihat peningkatan kesejahteraan penduduk (Jawa) adalah tugas paling penting; orang Jawa harus belajar ilmu pengetahuan/teknologi Barat.Â
Di sisi lain, Soetatmo Soerjokoesoemo berpendapat nasionalisme Jawa memiliki landasan kuat, tempat orang Jawa membangun masyarakat politiknya di masa depan.Â