Saya terus teringat pesan eyang atau Mbah Kakung Tjokrodikromo  saat mengundang orang (tukang) ke rumah untuk meminta bantuan mereka.
"Aja sewiyah-wiyah marang liyan. Nek arep kajen ya ngajeni-jangan bersikap semena-mena, kalau mau dihormati orang lain, hargailah mereka," pesan Mbah Kakung saat orang tua kami ingin membangun rumah.
Puluhan tahun kemudian, saat saya harus meninggalkan rumah tabon dan membeli kavling perumahan di wilayah Sleman, Yogyakarta, pesan Mbah Kakung tetap menjadi ujaran bijak yang saya jadikan pegangan.
Dalam proses pembangunan rumah kavling, sudah melalui proses kesepakatan awal soal tata ruang, luas bangunan, material yang digunakan, titik lampu, saluran air dan pembuangan, serta lamanya pengerjaan.
"Dalam pelaksanaan pembangunannya, kami harap sudah tidak ada komplain lagi. Kalau sesekali Bapak ke lapangan dan ada yang perlu didiskusikan, silakan langsung ke pengawas lapangan atau ke mandor bangunan, jangan ke tukang yang mengerjakan," pesan pihak pengembang di akhir pertemuan.
Sebagai calon pemilik rumah, tentu kami nantinya sesekali ingin melihat bagaimana proses pembangunannya, sambil diam-diam mengawasi kalau-kalau ada kesalahan tukang di lapangan dalam memahami desain. Â
Strategi ngajeni marang liyan-menghargai orang lain, saya terapkan dalam berhubungan dengan mandor bangunan bernama Mbah Waji. Meskipun saat pertama kali bertemu suasana kagok tidak dapat kami sembunyikan, tapi pada pertemuan selanjutnya, mulai terjalin hubungan simbiosis mutualisme, interaksi  saling menguntungkan.
Lelaki berusia senja yang bekerja dengan penuh semangat dan  selalu mempertimbangkan detail bangunan itu tidak  menolak saat ibu negara Omah Ampiran membawakan buah tangan setiap akhir minggu ketika melihat perkembangan pembangunan.
"Waduh kok repot-repot to Bu," ujar Mbah Waji.
"Tidak repot kok Pak, biar bisa untuk barengan sama teman-teman lain," jawab ibu negara Omah Ampiran sambil menyerahkan tas berisi makanan dan beberapa bungkus rokok.
Saat rolasan (istirahat siang), saya kemudian berkesempatan ngobrol ngalor-ngidul bersama Mbah Waji. Dari sini saya tahu kalau enam orang tukang yang bekerja membangun kavling kami semua masih bersaudara dengan Pak Min, pemborong. Ada Mas Sapari (adik pemborong), Mas Sugeng, Pak Endang, dan lainnya.
"Kados pundi Pak, wonten ingkang kirang pas? -- Bagaimana  Pak, ada yang kurang?" tanya Mbah Waji saat saya berkeliling memeriksa bangunan.
"Sudah bagus Pak. Tapi meja bar-nya saya minta yang bagian depan, batu batanya dijebol. Nanti mau diberi partisi dan almari kecil."
Mbah Waji lalu memperhatikan gambar.
"Oh, iya Pak, saya yang keliru. Nanti biar dijebol Mas Sapari."
Di kesempatan lain saya datang dan mencari tahu cerita mengenai keluarga Mbah Waji. Ternyata ia berasal dari Jawa Barat. Ia berencana akan pulang minggu depan karena sudah kangen dengan sang cucu.Â
Kemudian Mbah Waji juga bercerita bagaimana ia bekerja pindah-pindah wilayah dan menguasai beberapa pekerjaan dari masang batu bata, mlester, sampai masang keramik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H