Tiba-tiba saja, Sabtu (29/7/2023) sore, Museum Sandi dibanjiri puluhan perempuan berkebaya. Dari pembawa acara, pembaca karya fiksi mini, sampai penari, didominasi oleh wajah-wajah cantik memesona. Tentu hal tersebut  tidak berlebihan karena memang  acaranya berkaitan dengan perempuan bertutur lewat peluncuran dan diskusi buku Morse (antologi fiksi mini) bertema "Fiksi Mini Perempuan Bertutur sebagai Warisan Generasi Masa Depan". Menghadirkan narasumber Ikun Sri Kuncoro, Alex Luthfi, Agus Leyoor, dan Sri Yuliati, dimoderatori Ahmad Zamzuri.Â
Sebermula Perempuan Bertutur
Komunitas Perempuan Bertutur lahir berkat "terawangan" cerdas  dua orang perempuan,  Sri Yuliati Mukhamad (lulusan ISI Yogyakarta) dan Nena Cunara (alumni ASTI Bandung), terhadap media sosial yang banyak digunakan perempuan sebagai media curhat.
"Curhatan itu seringkali disalahartikan oleh pengguna medsos lainnya, sehingga muncul gagasan mengumpulkan perempuan-perempuan yang suka curhat dan meminta mereka menuliskan kegelisahan masing-masing lewat karya fiksi," jelas Sri Yuliati yang sejak duduk di sekolah dasar sudah menyukai sastra. Lepas dari bangku SMP di Grobogan, Purwodadi, ia hijrah ke Yogyakarta dan memenangi lomba baca puisi, deklamasi, serta monolog.
Perempuan Bertutur merupakan wadah bagi perempuan tanpa membedakan usia, latar belakang pendidikan, latar belakang hidup, suku, ras dan agama, yang ingin berbagi pengalaman dengan cara dituangkan atau dituturkan dalam bentuk tulisan berupa fiksi, khususnya fiksi mini.
Meskipun pandemi melanda Indonesia (2020) dan hampir semua aktivitas seni terhenti total, kondisi ini tidak menyurutkan niat  Sri Yuliati  dan  Nena Cunara membuat antologi. Dari sini lahirlah kumpulan cerpen 11 Perempuan Bertutur, dilaunching 13 Februari 2021, memuat karya cerpenis dari Yogyakarta dan luar Yogyakarta.Â
Penulis tersebut, antara lain, Rin Riani, Teti Taryani, Titin Suryani (Jawa Barat), Â Ditha Hasan, Purbalingga Anastasia Sri Kartisusanto, Erna Tri Wahyudiyanti (Bogor), Pia Cipta Murniningtyas (Semarang). Sedangkan nama-nama penulis Yogyakarta: Nena Cunara, Sri Yuliati Mukhamad, Nunung Rieta, dan Ludovica Mimi.
Setelah itu terbit antologi  Perempuan Bertutur 2, Tenedor Libre, berisi  110 fiksi mini (500 kata) dari 22 penulis perempuan  DIY, antara lain  Ariani Kartika, Choen Supriyatmi,  Indayati Oshine,  Kristina Koe, Nana Lusiana Boediman, dan Ninuk Retno Raras.
Perempuan Bertutur 3,  Morse: Merangkai Aksara Mengurai Sandi-sandi Kehidupan merupakan kumpulan 200 fiksi mini  (maksimal 250 kata), menghadirkan 40 penulis perempuan dari berbagi daerah di Indonesia.
Jika dalam antologi Tenedor Libre semua penulis berasal dari wilayah DIY,  berusia 50 tahun ke atas, maka dalam Morse tidak ada batasan umur. Penulis termuda,  Zahwa Amallia (18 tahun), siswi SMA 5 Yogyakarta, dan penulis  tertua, Tety Esnat  (71 tahun),  penulis senior berbahasa Sunda dari Sukabumi. Penulis lain berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan  Sulawesi.
Fiksi Mini atawa Flash Fiction