Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Komunitas Hore yang Bukan Hura-hura

12 Juni 2023   12:44 Diperbarui: 12 Juni 2023   21:10 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagia-karya Komunitas Ayu Sulam/Foto: Hermard


Tak bisa dipungkiri lagi bahwa saat ini di kota-kota besar dan kota kecil di Indonesia, terdapat banyak komunitas, dari komunitas yang biasa-biasa saja sampai komunitas antimainstream, misalnya komunitas Hong Kapanggih (perkumpulan permainan tradisional), Melantjong Petjinan Soerabaja (komunitas pecinta sejarah), Indonesia Graveyard (penyuka makam), Alon Mlampah (pejalan kaki), Portugal (komunitas para lansia), Banyu Bening (komunitas pecinta air hujan), dan masih banyak lainnya. 

Biasanya komunitas terbentuk karena adanya kesamaan minat, kesenangan, sikap, dan kegemaran di antara beberapa individu yang kemudian membuat  wadah demi kebersamaan dalam mencapai tujuan tertentu bagi para anggota. 

Masing-masing komunitas memiliki ciri dan kegiatan  yang membedakannya dengan komunitas lainnya.  Satu benang merah yang mengikat berbagai komunitas adalah bahwa keberadaan mereka bukan untuk hura-hura, melainkan menyalurkan rasa senang dalam kebersamaan meningkatkan kemampuan dalam teriakan: hore, kami bisa!

Membina dan Merawat Komunitas

Saat duduk di bangku SMP, SMA, dan awal semester kuliah, saya dengan senang hati menceburkan diri  terlibat dalam kegiatan OSIS dan  UKM Fakultas Sastra, mengurusi penerbitan majalah dinding dan buletin mahasiswa sastra Indonesia UGM. 

Selanjutnya menerbitkan beberapa antologi puisi, mengadakan seminar tingkat nasional, dan mendirikan komunitas Watoni (waton muni -asal bunyi) bersama Mas Noer Indrijatno-ahli memainkan beberapa alat musik dan piawai mengaransemen lagu. 

Komunitas Watoni saat latihan/Foto: dokpri Hermard
Komunitas Watoni saat latihan/Foto: dokpri Hermard
Kami berbagi tugas: Mas Noer mengaransemen lagu, mencari vokalis dan pemain musik, sedangkan saya menulis/menyiapkan puisi untuk dinyanyikan, menyusun jadwal latihan menjelang pentas. Keberadaan Watoni sempat eksis dalam mengisi acara-acara kemahasiswaan maupun fakultas. 

Puncaknya mengisi acara di Gelanggang Mahasiswa UGM bersama Jamaah Shalahuddin (UKM kerohanian Islam dan lembaga dakwah kampus UGM), menghadirkan Neno Warisman.

Tantangan mengelola komunitas kemahasiswaan lebih terkait dengan penyusunan jadwal latihan karena harus menyesuaikan jam kosong kuliah. Apalagi Watoni berisikan mahasiswa bukan saja dari Fakultas Sastra, tetapi ada yang dari Fisipol dan Ekonomi. Meskipun demikian, dalam setiap latihan, kami menemukan semangat baru untuk terus menyemai kebersamaan dalam musik dan puisi.

Tahun 1999, saya mendirikan dan mengelola komunitas Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta (SSIY), menampung siswa SLTA yang telah mengikuti program kegiatan Bengkel Sastra yang diadakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta, ditambah beberapa mahasiswa yang tertarik terhadap pembacaan karya sastra.  

Program Bengkel Sastra merupakan program tahunan dengan melibatkan tiga puluh siswa SLTA dari berbagai wilayah di Yogyakarta. Mereka bertemu setiap hari Minggu selama sepuluh kali pertemuan untuk mengikuti pelatihan menulis dan membaca puisi, cerita pendek, naskah drama (pilihan materi tergantung panitia).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun