Apa yang diharapkan saat udara dingin menggerogoti tubuh ketika berada di kaki pegunungan? Sebatang rokok, semangkuk mie panas, atau hangatnya secangkir teh dan kopi ditemani mendoan?
Setelah puas menikmati khidmatnya suasana di Umbul Jumprit-petilasan ahli nujum kerajaan Majapahit, di Jalan Ngadirejo, Purbosari, Temanggung, di kaki Pegunungan Sindoro, kami mencari tempat ngopi untuk menghangatkan tubuh.
Tak jauh dari pintu masuk situs Umbul Jumprit, di seberang jalan, pas di pengkolan Jalan Ngadirejo, terdapat warung kopi dengan tulisan menggelitik: The Only Reference for Kopi Luwak & Kopi Lanang.Â
Edun, warung sederhana, di kaki Gunung Sindoro, berjarak 25 kilometer dari Kota Temanggung, tampil nggaya dengan menggunakan bahasa Inggris! Satu-satunya referensi untuk menikmati kopi? Endes tenan!
Warung kopi itu memiliki halaman depan terbuka. Terdapat deretan meja dan bangku kayu, di bagian warung ada etalase. Di atasnya tertata toples kecil berisi bubuk kopi lengkap dengan label nama kopi, dan harganya: kopi luwak, winey arabica, kopi lanang, natural robusta, fullwash, dan lainnya.Â
Di rak bagian depan terdapat teh, mie instant, dan berbagai macam snack dalam kemasan. Sementara di atas meja yang disediakan untuk pelanggan, tersaji tahu isi, mendoan, dan telur asin. Di samping sebagai camilan, apa yang ada di atas meja merupakan pelengkap saat pelanggan memesan soto atau mie instan rebus.
Begitu menuju tempat di pojok kiri, kami melihat lelaki tua berpenampilan bersahaja, duduk sambil memutar benda di depannya.
"Wah, sedang apa ini Pak, kok tercium bau kopi?"
"Iya Mas, tengah menyangrai kopi. Kopi wine Temanggung jenis arabica," jawabnya penuh senyum sambil menoleh ke arah kami.
Menyangrai kopi dilakukan Joko Sungkono (57) dalam waktu dua puluh sampai tiga puluh menitan. Ia menciptakan sendiri peralatan untuk menyangrai yang dimodifikasi dari tabung gas melon.