Makna skill tidak dapat dilepaskan dari kata keterampilan, kecakapan, dan kebolehan -- kemampuan melakukan sesuatu, cakap dalam menyelesaikan sesuatu.
Meningkatkan kemampuan tidak harus berkaitan dengan hal-hal besar, bisa saja dengan hal kecil yang  dikerjakan sehari-hari. Misalnya skill memasak, menjadi ibu, mengatur keuangan, dan sebagainya. Bahkan mungkin berkaitan dengan hobi seseorang agar kemampuan yang dimiliki menjadi lebih baik lagi, semakin ngedab-ngedabi.
Saya teringat dengan cerita Mamak Sutamat (pensiunan Kompas) dalam buku  Kompas Menjadi Perkasa  Karena Kata. Mantan wartawan Kompas yang sering meliput berita kebudayaan, pendidikan, sosial dan politik, bercerita bagaimana nasib seorang korektor saat mengganti sebuah kata yang dianggapnya salah ketik (tapi sesungguhnya kata itu sudah benar menurut wartawan yang menulis berita).
Persoalan itu akhirnya menjadi peristiwa tidak mengenakan. Sang korektor  mendapat omelan dari semua redaktur, wartawan, dan juga teman-teman lain dan bisa berlangsung berhari-hari! Bahkan semua jasa memperbaiki yang telah dilakukannya, langsung lenyap. Maklum korektor merupakan jenjang terendah dalam jajaran redaksi.
Bagi saya, penulis pada akhirnya berperan sebagai seorang korektor yang sebisa mungkin tidak melakukan kesalahan (terutama di bidang kebahasaan). Penulis secara sadar atau tidak akan melewati empat tahapan penulisan: persiapan (berkaitan dengan ide), pematangan (pengayaan referensi), penulisan (media penyanpaian/ bahasa), dan verifikasi. Â
Dalam tahapan terakhir  (verifikasi),  penulis berkewajiban membaca ulang tulisannya, melakukan self editing (berlaku sebagai korektor), baik menyangkut unsur kebahasaan maupun pokok pikiran  yang diuraikan.
Unsur kebahasaan yang layak dikoreksi berkenaan dengan kesesuaian referensial (EYD dan KBBI) -- misalnya apakah selama ini kita merasa benar menulis kata idul fitri (dipisah) atau idulfitri (digabung), kita memilih menulis lubang atau lobang, Alquran atau Al Quran, handal atau andal, aktifitas atau aktivitas?Â
Apakah selama ini kita menyamakan arti kata adalah dan merupakan? Bisakah kita membedakan makna kalimat: Istri  Pak Agus, yang tinggal di Yogyakarta, dua hari lalu berangkat ke Kalimatan dengan kalimat yang sama (tapi tanpa tanda baca koma) Istri  Pak Agus yang tinggal di Yogyakarta dua hari lalu berangkat ke Kalimatan.  (?)
Apakah benar kata kepada dan terhadap selalu memiliki pengertian yang sama? Kalau jawabannya "iya", bagaimana dengan kalimat Kompasiana akan memberi hadiah terhadap (bukan kepada) Kompasianer yang menang....?Â
Jika Anda ragu-ragu menjawab sederetan pertanyaan di atas, maka sudah selayaknya di ramadan kali ini kita bersama-sama meningkatkan kemampuan di bidang kebahasaan.
Dalam setiap pertemuan di kelas pelatihan menulis yang dipenuhi generasi muda, saya selalu menekankan bahwa persoalan menulis yang sesungguhnya merupakan persoalan kebahasaan. Tanpa menguasai persoalan di seputar kebahasaan, jangan berharap  menjadi penulis yang baik.