masjid Pura Pakualaman di barat daya lapangan Sewandanan, suara hatiku mengejek telak.
Baru saja melangkah keluar dari"Mbok sudah, jangan pencitraan. Biasa juga salat di rumah. Ini belagu, nggaya, ndadak nyambangi masjid segala. Biar dikira alim, jelang bulan puasa rajin ke masjid?" tegur suara hatiku.
Seharian ini niatku memang mengujungi beberapa masjid. Bukan membangun pencitraan. Toh sebagai wong cilik aku tak patut berdekatan dengan kata pencitraan. Itu kan kosa kata yang dimiliki para pejabat dan politikus. Aku hanya ingin menyambangi rumah Tuhan sambil belajar sejarah.
"Belajar sejarah lewat masjid?" tanya suara hatiku menyela.
Iya. Di Yogyakarta, masjid bukan sekadar tempat ibadah. Dan lagi sekarang banyak orang belajar sejarah dari kuburan, pepohonan, sungai, dan benda lainnya. Tak ada yang salah.
Di masjid Pura Pakualaman ada prasasti yang terletak di sebelah utara dengan sengkalan Pandhita Obah Sabda Tunggal, Â menunjukkan tahun Jawa 1767 (1839 Masehi). Dalam prasasti di sebelah selatan tertoreh sengkalan Gunaning Pujangga Sapta Tunggal yang menunjukkan tahun Jawa 1783 (1855 Masehi).
"Terus ngapain, apa hebatnya prasasti-prasasti itu?" tanya suara hatiku tak paham.
"Lha iya, itu pelajaran sejarahnya. Kita bisa belajar kaitan prasasti itu dengan pendirian masjid ini. Apakah masjid ini dibangun tahun 1839 atau 1855? Juga apa fungsi Ma'surah, terbuat dari kayu, terletak di saf  depan di sebelah selatan pengimaman. Mungkin saja itu tempat raja saat melakukan salat."
Suara hatiku terdiam. Menundukan kepala dalam-dalam. Kemudian mengikuti langkah kakiku menuju ke barat.
"Mengapa kita tidak singgah ke Masjid Gedhe Kauman?" suara hatiku penasaran saat aku langsung menuju masjid Rotowijayan.
"Iya, meskipun mesjid ini kecil, tapi memiliki kaitan sejarah yang sangat manusiawi dan heroik," jelasku tenang.