Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Guyonan Kang Tohari dan Bandung Mawardi

1 Maret 2023   07:30 Diperbarui: 1 Maret 2023   16:22 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam di Simpang Lima/Foto: dokpri Hermard
Malam di Simpang Lima/Foto: dokpri Hermard

Ngobrol di Simpang Lima/Foto: Hermard
Ngobrol di Simpang Lima/Foto: Hermard
Di meja makan Simpang Lima, pembicaraan terus mengalir mengenai Ronggeng Dukuh Paruk versi Bamyumasan, kehidupan sastra di Jawa Tengah, dan persoalan seputar kebudayaan.

"Mengapa Kang Tohari menghadirkan tokoh-tokoh wong cilik dalam karya sastra?" tanya saya sambil lalu.

"Wong cilik itu dapat menerima kenyataan dengan ikhlas dan sabar dalam menghadapi hidup," jelas Tohari.

Malam terus bergulir. Sehabis makan kami bergegas menuju hotel mengantar Kang Tohari.

Penghargaan Prasidatama

Penyerahan hadiah Prasidatama/Foto: Hermard
Penyerahan hadiah Prasidatama/Foto: Hermard
Di Auditorium  RRI Kota Semarang, tanggal 28 November 2017, saat pembawa acara Penyerahan Penghargaan Prasidatama mempersilakan Kang Ahmad Tohari naik panggung untuk menyampaikan orasi budaya "Bahasa dan Sastra Indonesia Menagih Janji", tokoh yang senang disapa "Kang" ini mengawali pidatonya dengan memuji Bandung Mawardi, anak muda penggerak sastra yang tinggal di Solo.

Ahmad Tohari/Foto: Hermard
Ahmad Tohari/Foto: Hermard
"Saya senang kenal dengan Bandung Mawardi. Tulisannya menarik perhatian, kritis, inspiratif, meskipun terkadang nakal. Untung saya diminta naik panggung setelah Bandung. Kalau tidak, saya pasti sudah habis..." ujar Kang Tohari disambut tawa hadirin yang memenuhi Auditorium  RRI Kota Semarang

Bandung Mawardi/Foto: Hermard
Bandung Mawardi/Foto: Hermard
Sebelumnya, Bandung Mawardi, sosok sederhana yang mengaku bukan pejabat dan akademisi, tampil memukau  saat ia diminta mengkritisi antologi puisi Merawat Kebinekaan, berisi puisi-puisi penyair Jawa Tengah. Ia naik ke atas panggung penuh percaya diri, cuek, lugu, spontan, dan atraktif.

"Aku yakin kebanyakan puisi dalam antologi ini adalah puisi atlas karena temanya berkaitan dengan kebinekaan. Lalu banyak penyair menulis mengenai beribu pulau, beraneka suku bangsa, beragam budaya. Lha kalau seperti ini yang ditulis, semua orang sudah mengerti. Lalu untuk apa kita tulis? Lebih aneh lagi, urusan puisi kok dikaitkan dengan Permendikbud," guyonan ini langsung disambut tawa lepas para sastrawan yang menyimak setiap perkataan Bandung yang terkadang terasa konyol, naif, sekaligus cerdas.

"Ini apa lagi, pasti penulis puisi "Mau Makan Agama Apa" tidak mengikuti perkembangan di Indonesia. Tidak tahu kalau aliran kepercayaan sudah diakui oleh pemerintah. Jadi judul puisi ini sebaiknya diganti dengan "Mau Makan Agama dan Kepercayaan Apa". Ini kalau kita mau mengakui kebinekaan..." selorohnya dan sejurus kemudian terdengan tawa hadirin menyambut pemikiran kritis Bandung Mawardi, penerima Penghargaan Prasidatama 2017 katagori penggiat bahasa dan sastra Indonesia . (Herry Mardianto)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun