Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Krishna Mihardja dalam Bayang-bayang Seni Tradisi

27 Februari 2023   14:07 Diperbarui: 2 Maret 2023   11:08 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krishna dan gambang/Foto: Hermard

Tak ada yang mengira bahwa lelaki pensiunan guru matematika SMP 15 Yogyakarta, Krishna Mihardja (66 tahun), yang dikenal suntuk menggeluti dunia sastra Jawa dan sastra Indonesia, tiba-tiba hadir di atas panggung. Muncul dan bergabung dengan grup karawitan Arumsari saat mengiringi pementasan kethoprak dengan lakon Pedhut ing Pereng Sumbing. 

Eloknya lagi, malam itu (24/2/2023) ia tidak grogi unjuk kepiawaian meniup suling dan menabuh gambang di samping Ki Cerma Supraba, "maestro" karawitan di wilayah Sleman.

Bersama Ki Cerma Supraba/Foto: Hermard
Bersama Ki Cerma Supraba/Foto: Hermard
"Aslinya saya sudah dekat dengan dunia gamelan sejak kanak-kanak. Dulu di rumah orang tua ada seperangkat gamelan. Bahkan semua anggota keluarga bisa nabuh gamelan," jelas Krishna.

Darah seni mengalir deras dalam tubuhnya karena kakek dan ayahnya, Seni  Mihardja, memang mencintai gamelan, merupakan wiyaga atau penabuh gamelan. Mereka juga menguasai beberapa instrumen gamelan.

Mengapa memilih lari ke dunia sastra dan tidak menekuni gamelan yang sudah mendarah daging?

"Sengaja lari ke dunia sastra. Karena dulu istilah wiyaga, penabuh gamelan, kurang gaul sama sekali, ndesa, tidak bergengsi dibandingkan sebutan sastrawan," ujar ayah dari Paramita Dian Kumala dan Harjuna Candra.

Nabuh Gambang/Foto: Hermard
Nabuh Gambang/Foto: Hermard
Meskipun sudah menjadi sastrawan mumpuni, meraih beberapa penghargaan, toh ia tetap saja tidak mampu menolak panggilan hatinya.
Sejak tahun 1983 ia kembali ke dunia lamanya, nabuh gamelan, menjadi wiyaga, meskipun tidak seaktif di dunia sastra.

Di dunia sastra Jawa, Krishna dikenali karena di samping kualitas cerkak-nya, ia juga pembawa pembaruan dalam memperkenalkan gaya absurditas untuk cerpen berbahasa Jawa. Di sisi lain, Krishna merupakan sastrawan Jawa yang menulis novel dengan ketebalan fantastis.  Novel Omah (2020) mencapai seribu halaman lebih.

Soal pandangan hidup?

"Tinimbang dadi macan kerot mung wulu buntu, aluwung bisa nyokot senajan mung semut---dari pada menjadi macan ompong bulu buntut, lebih baik bisa menggigit meskipun hanya menjadi seekor semut," ungkap Krishna Mihardja.

Krishna dan gambang/Foto: Hermard
Krishna dan gambang/Foto: Hermard
Sejurus kemudian ia naik panggung lagi di limasan Somaatmajan, menabuh gambang mengiringi  merdunya suara sinden nembang  "Sluku-sluku Bathok". Malam kian larut dan tamu terus berdatangan. (Herry Mardianto)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun