Saat muda ia selalu terlihat dalam setiap pementasan wayang kulit, wayang orang, kethoprak, maupun uyon-uyon di Sleman. Perjalanan hidupnya inilah yang membuat ia mampu menabuh saron, demung, kenong, dan lainnya.
Begitulah, meskipun kehadiran Ki Cerma Supraba dan Mbah Supan setara dengan maestro di dunia kesenian, mampu menguasai, memainkan seluruh instrumen gamelan, mereka tetap berada di garis tepi seni tradisi. Hidup dalam konsep nrima ing pandum.Â
Ibaratnya, kesetiaan dan loyalitas mereka terhadap seni tradisi sudah mbalung sumsum (mendarah daging). Dengan penghasilan terbatas, mereka menempuh jalan ana sethithik dipangan sethithik--ada sedikit ya dinikmati seadanya. (Herry Mardianto & Agus Suprihono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H