Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Maestro di Garis Tepi Seni Tradisi

24 Februari 2023   15:20 Diperbarui: 24 Februari 2023   15:38 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duo Maestro/Foto: Agus S

Ketika saya diterima kuliah di Jurusan Sastra, orang tua mantan pacar langsung meminta anak perempuannya memutuskan hubungan kami. Alasannya sangat (tidak) masuk akal, ia tidak mau anaknya diberi makan puisi, imajinasi, khayalan. Sastra tidak menjajikan masa depan! Apa orang bisa kenyang diberi makan imajinasi, puisi, cerpen?

Pengalaman real itu terjadi pada tahun 1980-an. Menyakitkan? Hem, bukankah pesimisme terhadap sastra dan dunia kesenian memang terjadi sudah sejak lama? 

Saya kemudian diberi gambaran Mas Agus Suprihono mengenai dua orang maestro dalam seni tradisi Jawa yang dengan berbagai kelebihannya tetap tak mengubah nasib mereka menjadi orang berkecukupan. Hebatnya, mereka tetap nrima ing pandum, melakoni hidup dengan apa adanya.

Mbah Kayat (Ki Cerma Supraba)/Foto: Agus S
Mbah Kayat (Ki Cerma Supraba)/Foto: Agus S
Tersebutlah Mbah Kayat (77 tahun), orang tua dari empat  anak, yang sejak kanak-kanak sudah berkutat dengan seni tradisi. Maklum, ayahnya, Ki Soma Banjar, dikenal sebagai dalang ternama di seputar wilayah pinggiran kota Yogyakarta. 

Kayat kemudian menjadi abdi dalem kraton Ngayogyakarta Hadiningrat  dengan gelar  Mas Wedana Cerma Supraba. Pemberian gelar dan nama dari Ngarsa Dalem ini sesuai dengan profesi Kayat sebagai dalang. Artinya darah seni pedalangan mengalir deras dalam tubuhnya, tak lain berasal dari Ki Soma Banjar.

Ki Cerma Supraba berpikiran terbuka. Ia mempelajari seni tradisi lainnya, yaitu wayang thengul, wayang wong, kethoprak, terlebih karawitan. Penguasaannya terhadap berbagai instrumen gamelan tidak perlu diragukan lagi karena Ki Cerma Supraba memang suntuk mempelajarinya. 

Penguasaannya terhadap alat gesek rebab sudah begitu mendarah daging. 

Di usia senja, ia tetap berkeliling dari kelompok karawitan satu ke kelompok karawitan lain untuk berbagi ilmu. Berbahagialah penabuh yang langsung bisa berguru kepadanya karena ia memang sulit ditemui, selalu "mengembara" di dunia karawitan. 

Kesetiaan pada rebab/Foto: Agus S
Kesetiaan pada rebab/Foto: Agus S
Kehebatan Ki Cerma Supraba setidaknya dibuktikan dengan penghargaan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman sebagai Budayawan Sleman (2015).  

Ketiga anaknya saat ini juga berkecimpung dalam seni tradisi, ikut dalam kelompok kethoprak di Seyegan, Sleman.

Sebaya dengan Mbah Kayat, dan sama-sama pecinta karawitan, Widi Prayitno dengan sapaan akrab Mbah Supan, juga tidak kalah hebat. Bedanya, Mbah Supan hanya petani biasa, bukan abdi dalem. 

Mbah Supan (Widi Prayitno)/Foto: Agus S
Mbah Supan (Widi Prayitno)/Foto: Agus S
Pembeda lainnya adalah Mbah Supan seorang pendiam, bukan "pengembara". Bahkan ia tidak pernah guyon kepada sesama penabuh, baik saat latihan maupun ketika berada di atas panggung. Sikap ini membuat ia tidak mampu mewariskan kepiawaiannya kepada siapa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun