Meskipun banyak orang yang pesimis bahwa kelompok kethoprak tidak ada yang bisa bertahan lama karena pengelolaannya hanya sebatas pada keinginan nguri-nguri kesenian tradisional, kebudayaan Jawa, kenyataannya sampai hari ini ada saja kelompok kethoprak yang diopeni dan siap manggung. Salah satunya adalah kelompok kethoprak Mataram Dwi Mudo Budoyo yang bermarkas di Seyegan, Sleman, Yogyakarta.
"Kami akan mementaskan lakon Pedhut ing Lereng Sumbing versi Jawa Timuran.  Jadi naskahnya lebih panjang dibandingkan yang ditulis Mas Bondan Nusantara. Akan ada penambahan di sana-sini, sesuai dengan cerita sejarah yang pernah saya dengar. Ini tidak ada hubungannya dengan politik kekuasaan 2024," jelas Bey Saptomo, penulis naskah.
Naskah yang akan dipentaskan pada hari Jumat (24/4) malam di Limasan Somaatmajan, Seyegan, Â memang cukup panjang. Didukung oleh tiga puluhan pemain, dari mahasiswa sampai generasi tua, antara lain Wandono, Kotir, Yatmi, Afifah (mahasiswi), Pangat, Barno, Putri (mahasiswi), Ngadino, Mujap.
Naskah ini menceritakan kisah percintaan Pranoto dengan Dewi Manggaranti, anak dari Adipati  Natapraja. Sang adipati tidak menyetujui hubungan tersebut sehingga Pranoto dicopot dari jabatannya sebagai ketua prajurit Jatinegoro dan diusir dari Kadipaten Jatinegoro.
Pentas dengan dukungan dana keistimewaan melalui Dinas Kebudayaan  Sleman,  mengambil tempat di desa, wilayah pinggiran Sleman sisi barat.
"Sengaja mengambil tempat di Margokaton, Seyegan, karena masih banyak pandemen dan pemain kethoprak di sini. Sekaligus memunculkan kesadaran  mengenai perlunya melestarikan kesenian rakyat," papar Agus Suprihono, sutradara pementasan.
Lebih jauh Agus menjelaskan kendala dalam persiapan pementasan. Menyangkut jadwal latihan karena pemainnya dari generasi muda sampai generasi tua, sehingga terkadang tidak semua pemain dapat hadir.Â
Terlebih sebagian besar bekerja sebagai petani, sehingga waktunya tidak bisa dijagakake. Â Masih lumayan kalau mereka mau latihan, meskipun datangnya terlambat. Â Satu hal lagi karena pemainnya banyak, koordinasinya tidak mudah.
"Sayangnya Pak Supan tidak bisa ikut nabuh gamelan. Ia saya anggap maestro," ungkap Agus dengan nada kecewa.
Supan merupakan lelaki renta berusia tujuh puluhan tahun. Lelaki pendiam ini piawai memainkan hanpir semua instrumen gamelan: demung, saron, kempul, bonang, kenong, slenthem, gambang, siter, gender, sampai suling. Â
Bukan tanpa alasan ia menguasai peralatan musik itu. Sejak remaja ia merupakan  pandemen pertunjukkan wayang kulit, kethoprak, wayang orang, karawitan, dan uyon-uyon.Â