Hari masih terlalu pagi saat Mbok Sapa ditemani dua buruh tandur lainnya merentangkan blak, bentangan bilah bambu cukup panjang yang diberi tanda setiap jarak dua puluh centimeter agar benih padi bisa tertanam berjajar rapi. Petak sawah yang ditanami seluas enam ratus meter persegi.
Intinya ia ikhlas dibayar berapapun, tidak ada patokannya. Jika dibayar tidak sesuai keinginannya, tidak menjadi soal karena hidup harus saling tolong-menolong, perlu sedekah.
"Niki mangke sakderengi lohor sampun rampung Mas...."
"Kok ganti angon bebek Pak?"
"Ayami pun disade Mas. Kalau musim hujan banyak yang gering, mati!" ujar Pak Marjoko menjelaskan. "Sekarang lagi banyak air, kami beralih ke bebek petelur. Memeliharanya lebih mudah, cukup diumbar ke sawah, mereka mencari makan sendiri.  Dan telurnya melimpah."Â
Pak Marjoko memang keluarga petani.  Istri, anak dan menantunya, semua bahu- membahu mengurusi sawah dan hewan  piaraan mereka. Kerja mereka seakan tak pernah berhenti: menanam padi, kacang, cabe.  Di samping itu, setiap hari  mengurusi  puluhan sapi, ayam, dan bebek, serta membersihkan kandang.
Pak Mardjoko memiliki gerobak sapi dan beberapa kali saya diajak keliling desa.
"Awi Mas tumut. Ngajari sapi kenal dalan, biar berani ketemu orang."
Saya baru paham kalau sapi penarik gerobak pun harus melalui tahap latihan. Ada dua sapi penggerak gerobak di kanan kiri. Biasanya sapi uji coba (yunior) diletakkan di sebelah kiri, sedang sapi pendampingnya (senior) di sebelah kanan. Sapi senior dipilih yang badannya lebih besar dan sudah terbiasa diajak jalan.