Goenawan Mohammad menyatakan bahwa sastra merupakan pasemon, sindiran halus yang menyarankan sesuatu yang bukan sebenarnya, tetapi mendekati sifat tertentu.
Beberapa karya Krishna Mihardja (pensiunan guru Matematika, sastrawan) Â berupa cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak) menunjukkan fenomena menarik dengan menampilkan peristiwa keseharian lewat penyelesaian cerita yang terkadang mengagetkan pembaca.Â
Beberapa cerita Krishna diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dimuat dalam Kompas dan majalah Horison.  Cerpen "Sandal Jinjit" (Kompas) dinilai Afrizal Malna sebagai  karya sederhana dengan keinginan kuat memperlihatkan biaya-biaya sosial yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan performa dari sebuah birokrasi pedesaan  bernama kelurahan.
 Di sisi lain, ada yang menilai  cerpen Krishna Mihardja sebagai karya surealis pasemon.
Krishna Mihardja merefleksikan renungan filosofis khas Jawa dengan formula surealistik yang kental, identik dengan ironi dan kritik sosial  cukup tajam dan nylekit. Berbeda dengan  karya sastra Jawa  yang acapkali terperangkap dalam konvensi lembah manah, tata krama, bersifat adiluhung, dan nguri-uri kabudayan Jawa.
Pemahaman terhadap cerpen Krishna Mihardja sebaiknya   berangkat dari  keyakinan bahwa  sastra merupakan pasemon,  menampakkan hubungan yang bebas dengan realitas. Atau  bisa  dilakukan dari perspektif sastra sebagai resistensi terhadap hegemonisasi negara dan pembangunan. Dengan demikian,  sedikit banyak akan menyinggung pemahaman mengenai negara dan pembangunan.
Pembangunan oleh para penyelenggara negara (penguasa) dianggap sebagai sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan. Asumsi tersebut membawa konsekuensi bahwa pembangunan menjadi terlalu suci untuk dikritik dan tidak relevan  dievaluasi.
Pembangunan hanya menuntut kesetiaan, ketaatan, dan bahkan pembelaan dari masyarakat.
Sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang bersifat protes atas pembangunan dikategorikan sebagai sikap anti pembangunan,  lebih ekstrim  dianggap sebagai penyimpangan ideologis sehingga termasuk  subversif. Walau demikian, bukan berarti tidak ada  kritik yang menggugat eksistensi negara dan pembangunan.
Resistensi terhadap negara dan pembangunan  tidak ditampilkan secara langsung dan transparan, tetapi lewat karya sastra  sebagai pasemon.
Dalam pasemon, makna hadir mewakili sesuatu yang hanya bisa muncul dalam suatu konteks, dalam perbandingan dengan suatu keadaan atau dengan suatu ekspresi lain yang pernah ada. Dengan kata lain, makna tersebut hadir bukan dengan menceritakan sesuatu sebagaimana adanya, tetapi dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan.
Dengan sifatnya yang fiktif, sastra pada hakikatnya merupakan suatu bentuk sistem interpretatif. Kenyataan ini membawa konsekuensi bahwa sastra dianggap lebih mampu melindungi diri dari tindakan-tindakan represif.
Di tengah atmosfir politik berwajah represif (Budiawan), karya-karya sastra (di) Indonesia tampil sebagai resistensi terhadap hegemonisasi negara dan pembangunan yang hendak dimapankan; dalam karya-karya sastra tertentu "menjadi sesuatu" yang digugat, dipersoalkan.
Krishna Miharja menghadirkan karya sastra berisi gugatan terhadap pemapanan kekuasaan negara, teralienasinya masyarakat dalam pembangunan.Â
Hal ini setidaknya terlihat dalam "Horn", "Sapari", dan "Sandal Jinjit".
Dari ketiga cerkak tersebut, "Horn" secara lebih jelas memperlihatkan proses teralienasinya masyarakat dalam pembangunan. Cerkak "Horn" mengisahkan kegigihan kepala dusun Jayareja memasang horn (pengeras suara) di wilayahnya dengan tujuan  memudahkan masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan.
Secara signifikan, horn (goraswara) merupakan simbol kemajuan, upaya perluasan kekuasaan sekaligus penenggelaman nilai-nilai humanis dengan dominannya nilai materialistik (kepercayaan kepada horn).
Pemuliaan terhadap teknologi canggih (horn) menimbulkan pelecehan-pelecehan terhadap nilai-nilai romantisme dan intuisi-intuisi tradisional: horn sudah tidak lagi menyuarakan azan, tidak pernah memberitakan kabar lelayu (berita duka kematian), dan tidak pernah mewartakan adanya warga yang sakit.
Sebaliknya, masyarakat diarahkan kepada titik depresi fase relatif dengan  upaya penyeragaman suara lewat horn. Penyeragaman tersebut berupa pengedepanan retorika-retorika pembangunan yang ekspansif untuk mengakumulasikan loyalitas masyarakat.
Menguatnya artikulasi birokrasi lewat kepala dusun dengan horn-nya dan melemahnya suara masyarakat memperlihatkan kekuasaan  bercorak hegemonik serta tenggelamnya identitas masyarakat. Kondisi ini sebenarnya sudah dibentuk pada bagian awal cerita dengan adanya depolitisasi argumen.
Gugatan terhadap "kekuasaan" dalam pengertian demokrasi, diletakkan dalam klimaks cerkak "Horn" dengan gaya plesetan ketika Pakdhe Darmo Karsi meninggal dunia. Matinya Pakdhe Darmo Karsi (baca: demokrasi) merupakan ironi bagi kekuasaan  besar di dusun Jayareja. Kekuatan yang demikian besar  dan dominan, tiba-tiba berubah menjadi sosok  tidak jelas: baik kepala desa maupun masyarakat tidak mengenal dengan baik hakikat demokrasi. Hal ini sesungguhnya menggambarkan ketidaksejajaran antara penguasa dan yang dikuasai sehingga menimbulkan krisis.
Cerkak "Sapari" mempunyai warna senada dengan "Sandhal Jinjit", keduanya mempunyai keinginan kuat  memperlihatkan biaya-biaya sosial (dan ekonomi) yang tinggi untuk mencapai kedudukan sebagai elite tertentu dalam kehidupan masyarakat.Â
Dalam "Sapari", meskipun semula Pak Marto (guru) tidak berkenan memakai baju safari-karena dia beranggapan bahwa baju safari lebih cocok untuk para birokrat-dengan adanya tekanan dari kepala sekolah-akhirnya ia terpaksa mengenakan baju safari. Safari merupakan baju pemberian kepala sekolah demi performa dari sebuah birokrasi pendidikan. Kondisi ini tercipta karena birokrasi  merupakan sebuah pentas. Jika dalam "Sandhal Jinjit" pentas birokrasi melibatkan hampir seluruh sumber keuangan desa yang dikelola oleh seorang lurah-karena sandhal jinjit ternyata sama dengan televisi, kulkas, taman di teras rumah, mobil, dan pakaian bagus; maka dalam "Sapari" baju safari  sama dengan sepatu Itali, tas kulit, serta motor,  menguras habis gaji seorang guru rendahan.
 Narasi yang ditawarkan kedua cerkak tersebut memperlihatkan satu kesamaan: jatuhnya pegawai pemerintahan karena materi (sandhal jinjit dan baju safari). Hanya saja penggambaran dalam "Sandhal Jinjit" terasa lebih sederhana, tidak terlalu melibatkan artikulasi birokrasi maupun wacana kekuasaan.Â
Di dalam "Sapari" kedua sisi itu  sudah tergambar dalam pembukaan cerita. Signifikasi Pak Marto dan setelan safari pada awalnya merupakan dunia kontradiksi, perlawanan antara yang dikuasai dan yang menguasai. Kekalahan Pak Marto adalah kekalahan terhadap hegemoni yang memproduksi simbol-simbol kewibawaan politik penguasa lewat baju safari. Baju safari merupakan patronship yang harus ditaati, dihormati, dan pantang ditentang-elite politik dan massa rakyat saling membutuhkan semacam pengertian melalui proses kekuasaan dan legitimasi.
Matinya demokrasi (dalam "Horn") dan kekacauan pikiran Pak Marto setelah memakai setelan safari (dalam "Sapari") secara signifikan merupakan puncak gugatan terhadap pemapanan kekuasaan; simbolisasi dari klimaks pembusukan politik (political decay).
Dalam konteks Indonesia Orde Baru, "Horn" dapat dipahami sebagai gugatan atas ditabukannya perbedaan suara dalam upaya pemapanan kekuasaan.
Di samping itu, baik "Horn" maupun "Sapari" sarat dengan pasemon kejadian-kejadian di Indonesia--walaupun pengungkapan dalam karya fiksi tidak akan sama persis. "Horn" berkorelasi dengan tuntutan balas jasa  atas kebaikan penguasa, tuntutan terhadap loyalitas  suksesi yang selalu dikaitkan dengan suara kebulatan tekad dan azas tunggal-presiden Soeharto pernah menyatakan bahwa peralihan kepemimpinan harus tanpa guncangan.
Kebulatan tekad disignifikasikan lewat horn yang menteror rakyat agar mengakui keberhasilan pembangunan: semakin berkurangnya jumlah orang miskin, meningkatnya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, keberhasilan paket belajar membaca, dan sebagainya. Semua terjadi berkat adanya horn (signifikasi penguasa) yang berpengaruh kuat di pedesaan (Jayareja), bahkan dominasi horn ditunjukkan oleh pernyataan sikap sebagian besar masyarakat bahwa horn merupakan punjering sakabehe obah-masiking panguripane warga, pusat dari perubahan hidup masyarakat.
Cerkak "Sapari" berisi pasemon menyangkut terminologi bapakisme  yang menunjukkan  sistem hubungan sosial yang kompleks. Dalam sistem bapakisme, "bapak" (patron) dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan spiritual. Kekalahan Pak Marto melegitimasi pernyataan bahwa di dalam sistem bapakisme, anak buah (clients) harus berani mempertaruhkan segala sesuatu demi kepentingan sang bapak.
Kesedian Pak Marto memakai baju safari merupakan perwujudan konsep bahwa penguasa harus selalu dihormati, ditaati, dan pantang  ditentang. Kekacauan pikiran yang dialami Pak Marto merupakan klimaks bentuk pengorbanan yang dilakukan demi kebaikan baju safari (tuntutan penguasa).
Cerkak "Horn" dan "Sapari" (di samping "Sandhal Jinjit") merupakan sebagian kecil (dari puluhan bahkan ribuan cerpen di Indonesia) yang dipenuhi dengan pasemon. Ketiga cerkak tersebut sama sekali tidak berpretensi menawarkan solusi, tetapi lebih sebagai suatu resistensi terhadap hegemoni negara dan pembangunan. Dengan demikian, dunia sastra memberi alternatif bahwa realitas itu tidak tunggal.
*Herry Mardianto
Rujukan: Widyaparwa, Cakrawala MP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H