Pesimisme terhadap sastra seringkali muncul sebagai kasak-kusuk di tengah kita: mengapa orang menggeluti sastra, apa yang dijanjikan sastra bagi masa depan, bukankah sastra tidak lebih dari sekadar hiburan tak penting? Kalah gengsi dibandingkan sepak bola, pertunjukkan musik, bahkan pentas dangdut di pelosok kampung dengan biduanita bersuara pas-pasan sekalipun? Â Di tengah kultur pembangunan (di) Indonesia yang relatif tidak mengakomodasikan atau kurang menyediakan peluang-peluang bagi terapresiasikannya (seni) sastra, siapa yang bersedia dengan sepenuh hati memperjuangkan dunia sastra di tengah suasana hidup yang mendewa-dewakan masalah ekonomi dan politik dengan pengedepanan efisiensi rasio, kekuasaan, ketertiban serta keamanan? Benarkah sastra menjadi barang rongsokan yang patut ditendang-tendang bagai bola? Pertanyaan serupa pernah dilontarkan Emha Ainun Nadjib pada awal tahun 1990-an.
Di tengah klenger-nya soailisasi dan pengajaran sastra, beberapa pihak meyakini bahwa masih ada kesempatan  membangkitkan dunia sastra. Meskipun begitu, banyak orang keminter yang hanya bisa berteriak-teriak bahwa dunia sastra payah,  terpinggirkan; tanpa berbuat apa pun kecuali terus berteriak-teriak tak berkesudahan.
Bolehlah kita berspekulasi kurangnya minat terhadap sastra karena tradisi  menulis kreatif tidak disemai dengan baik di sekolah (saat pemerintahan Orde Baru), di samping siswa tidak diberi kesempatan mengapresiasi karya sastra, tidak mendapat pelajaran bagaimana cara  membacakan karya sastra. Selama kanak-kanak hingga lulus sekolah menengah atas, siswa hampir tidak memperoleh pengalaman bersastra karena yang dijejalkan guru bahasa Indonesia hanya pengetahuan sastra, itu pun tak lebih dari hafalan bahwa  sastrawan si Embuh menghasilkan karya entah, penyair Polan termasuk dalam angkatan itu-tuh, ini nih....Siswa jarang diajak memasuki pengalaman empirik menulis karya sastra (puisi, cerpen). Akibatnya mereka  tidak mampu mengasah kepekaan intuitif dalam menangkap peristiwa keseharian, menyeleksipengalaman guna diekspresikan menjadi puisi, misalnya. Kebiasaan "menuliskan" pengalaman, gagasan, imajinasi merupakan prioritas  utama dalam menumbuhkan pengalaman kreatif  bersastra. Dengan mengalami sendiri proses kreatif bersastra, siswa dapat merasakan bagaimana  datangnya inspirasi,  pematangan ide, penuangan ide dengan media bahasa, dan pengekspresiannya ke dalam karya sastra maupun pembacaan karya sastra. Pengalaman tersebut membuka pintu bagi siswa agar mudah memasuki dunia sastra, memiliki bekal penghayatan terhadap karya sastra (setidaknya puisi).
 Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, keberadaan penulis puisi terus diombang-ambingkan, kadang dipuja, dihargai, dihormati, meskipun acapkali dipandang remeh, diabaikan, dan dilupakan orang. Anehnya, puisi selalu  ditulis orang dan hadir di mana-mana....
Sudah siap menulis puisi dan diombang-ambingkan sejarah?
Mari...
*Herry Mardianto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H