/1/
Akhirnya, setelah mundur dari dunia penelitian, saya memberanikan diri terjun bebas ke kawah candradimuka flat Kompasiana. Jauh sebelum pensiun, mantan pacar hampir setiap hari membaca Kompasiana dan selalu setia mengirimkan tulisan-tulisan ciamik lewat Whats App. Ini merupakan salah satu jurus mantan pacar  merayu  suaminya (mantan pacar juga) agar tergoda  membaca tulisan-tulisan yang ruuarrr biasaaah, bernas.Â
Setiap menerima kiriman dari mantan pacar, tulisan-tulisan itu langsung saya beri tanda bintang agar mudah menemukannya kembali sekaligus memberi rasa hormat dan penghargaan kepada pendekar (penulis) mumpuni.Â
Tulisan dengan tanda bintang itu antara lain "Admin Kompasiana Tidak Menarik" (Felix Tani), "Menulis, Bercanda yang Serius" (Peb), "Eksedentisias dan Kosakata Lain yang Makjleb" (Khrisna Pabichara), "Di Balik Kekentiran Engkong Felix" (Khrisna Pavichara), "Mengenal Dunia Fiksi Flash Fiction di Pusaran Karya Sastra" (Lilik Fatimah Azzahra), "Ini yang Dilakukan Dee Lestari untuk Menulis" (Ragu Theodolfi), dan "Kesalahan Penulis Pemula: Pembukaan yang Lemah" (Ikhwanul Halim)-dua tulisan terakhir baru kemarin  saya baca.
Setelah saya amati dengan seksama, begitu nyebur ke flat Kompasiana, ternyata tulisan-tulisan yang mampu memikat hati mantan pacar, ditulis oleh para penulis dengan tanda centang biru. Artinya, mantan pacar mempunyai selera yang bagus terhadap pilihan tulisan-tulisan di Kompasiana. Setidaknya ia berusaha memberikan suguhan  tulisan bergizi tinggi untuk  saya akrabi. Bukankah kualitas tulisan seseorang  ditentukan juga oleh referensi yang dibaca? Dan, tentu saja tulisan karya penulis centang biru Kompasiana merupakan kampiun kelas wahid.
/2/
Soal warna centang, sejak semula bukan menjadi sesuatu yang menggelisahkan bagi saya.Â
Sejak dulu  (pada rezim Orde Baru) saya tak peduli apakah harus menyukai dan  mencoblos warna merah, kuning, atau hijau. Karena begitu masuk ke bilik suara, ribuan setan bergentayangan memenuhi kepala.Â
Mereka menghasut  agar saya  mencoblos  semua warna.
"Bukankah dengan mencoblos semua warna, engkau akan menjadi orang suci, termasuk  golongan putih, berada dalam  barisan golput?" ujar setan merajuk penuh semangat. Tak sejengkal pun para setan berniat mundur dari batok kepalaku. Mereka tersenyum menggoda, terkadang berubah wajah menyerupai Ayu Azhari, Ariel Tatum, Mongol, Dewi Persik, Sylvia Genpati....
Tapi saya percaya bahwa  warna di bilik kotak suara pemilu berbeda arti dan maknanya  dengan warna di bilik Kompasiana. Terlebih di Kompasiana hanya ada dua warna, hijau ke biru yang  disematkan admin Kompasiana  kepada penulis dengan kriteria tertentu.Â
Warna itu tidak bisa dipertukarkan sekehendak hati. Seperti kita tidak akan mampu menukar warna kuning dan putih dalam tradisi masyarakat Yogyakarta dan Solo.  Sangat muskil menemukan warna kuning di ujung gang di kota Yogyakarta sebagai tanda berkabung, sebaliknya jangan pernah  berharap  menemukan bendera warna putih di kota Solo sebagai tanda ada keluarga yang kesripahan. Kedua kota itu punya warna yang tak bisa saling dipertukarkan untuk melambangkan duka cita. Pun juga warna lampu pengatur lalulintas tidak bisa dipertukarkan sekehendak hati karena bisa menyebabkan situasi menjadi berabe!
/3/
Pentingnya warna centang di flat Kompasiana saya sadari  setelah membaca tulisan  Bang Hanif Sofyan "Revolusi Admin dan Centang Biru Dua Kali yang  Tak Ampuh Lagi".  Tulisnya, banyak kompasianer  berharap mendapatkan verifikasi centang biru, tetapi kenyataannya centang biru menyimpan tanggung jawab untuk selalu berusaha menulis dengan baik dan juga disiplin terhadap aturan main. Meskipun begitu, warna centang biru  yang sudah didapatkan tidak selalu abadi, ia ternyata bisa luntur menjadi hijau lagi. Â
Di sisi lain, Bang Hanif  menyitir pendapat  Engkong Felix Tani, bahwa centang biru merupakan pengakuan admin Kompasiana atas kredibilitas kompasianer dan konten  artikelnya; sedangkan centang hijau tak merujuk kepada kredibilitas, tapi semata  kelengkapan "administrasi" kompasianer.
 Sebagai pendatang  baru di flat Kompasiana tentu saya masih harus banyak belajar, mengikuti arus dengan tetap memegang teguh pandangan ngeli ya ngeli ning aja nganti keli, terus meningkatkan pengalaman menulis, tak peduli dengan centang hijau (sudah saya dapatkan  begitu lolos validasi admin Kompasiana) atau biru (masih dalam angan-angan semu).  Bagi saya, baik centang hijau maupun biru, semuanya oke-oke sajalah, yang penting asyik (menulis).
Sekali lagi, asyik!
(Wajib dinyanyikan dengan menirukan gaya Iwan Fals). *Herry Mardianto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H