Untuk apa berdo’a melalui sholat jika tidak dikabulkan…?
Geletar prihatin mendera Tarma setelah mengetahui Jujun tidak lagi menegakkan sholat. Kalimat tadi berdengung begitu Tarma menegurnya. Apalagi setelah Emak-nya dipanggil Allah karena demam berdarah. Betapa Jujun geram, mimpinya untuk memberangkatkan Emak untuk umroh kandas sudah. Kendati saldo tabungannya memang belum seberapa, namun pilihannya saat itu untuk memuliakan Emak beresiko membuat Asih berpaling ke lain hati. Ketika itu, Jujun hanya mendapati janur kuning tersembul di ujung gang rumah Asih bertuliskan namanya, juga suami pilihannya. Praktis, dua asa pupus: orangtua satu-satunya, serta jauh hari sebelumnya: cintanya….
Bagi Jujun, cukuplah kepapaan yang menderanya sebagai ujian hidup. Semenjak kecil, raga tulangnya bersaksi dibanting berkali-kali demi sesuap nasi. Belum lagi statusnya setelah dilahirkan sebagai anak yatim. Raga Bapak tak kuasa digerogoti kanker paru-paru. Racun rokok yang melegamkan bibirnya… mengusamkan wajahnya… serta meringkihkan tubuh kurusnya; genap mengantarkan pada pemakaman. Jujun pun dilahirkan tunggal. Satu-satunya harta berharga adalah: Emak. Jujun pikir, ujian hidup berhenti sampai episode itu. Namun, Tuhan seperti tidak menyisakan Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Nya untuk dia seorang….
Shubuh menjelang mentari menyembul malu-malu menyambut hari baru itu, Tarma mendapati kamar kontrakan Jujun masih gelap. Entah, Shubuh keberapa yang ditinggalkan Jujun. Padahal saat sepertiga malam dia bangun, televisi yang baru dibeli Jujun masih menyala memutar koleksi film-film Shahrukh Khan-nya. Tarma saksi mata, betapa tabungan yang semula disiapkan untuk umroh Emak Jujun; berubah wujud menjadi televisi 14 inchi… DVD Player… kepingan-kepingan film Bollywood… hingga smart phone model terbaru yang sering diiklankan di layar kaca.
“Padahal, kamu masih bisa menyimpannya untuk nambah-nambah modal jualan, Jun…,” pagi itu, Tarma sedang sibuk menyiapkan gerobak Mie Ayam Basho dagangannya. Jujun pun memilih menyibukkan diri dengan persiapan jualannya hari itu.Tangan cekingnya cekatan mengupas mangga, tomat, dan nenas kemudian dipotong dadu. Inipun berlaku untuk bentuk potongan agar-agar hijau. Berbeda dengan melon, semangka, dan alpukat yang dikerok saat akan penyajian; untuk kelapa dikerok lebih awal. Itupun bukan menggunakan sendok, melainkan dengan alat yang ujungnya terbuat dari bekas tutup limun. Kemudian direndam di air kelapanya. Sementara pir, jambu batu, belimbing, dan anggur dipotong mendadak setelah ada pesanan. Semuanya sempurna disantap dengan tambahan butir-butir pacar China warna pink sebagai garnish. Dia pedagang Es Buah.
Untuk urusan yang satu ini, Tarma salut dengan kejujuran Jujun. Buah-buahan yang dia olah semuanya pilihan terbaik. Tidak satu pun Jujun membeli buah-buah murah yang kini marak dijual di pinggir jalan. Bagi Jujun, sungguh tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin jenis buah berbeda, namun memiliki harga yang sama? Selain memang Jujun juga mengerti bahwa buah-buahan yang diimpor dari China tersebut sudah tidak bernutrisi lagi, para pelanggannya sudah kadung membeludak. Mereka pun mengakui kesegaran buah-buah tersebut. Bahkan untuk cita rasa asam, dia lebih memilih menggunakan Sirsak sebagai campuran, ketimbang rasa asam buatan. Walau, dari kejujuran ini pula, satu sendu sempat terlontar dari Jujun:
”...tapi... mengapa Allah masih menguji saya sapertos ieu nya, Kang...?”
Semenjak itulah, Jujun sudah jarang mendirikan sholat....
Tidak usah ditanya bagaimana getolnya Tarma mengingatkan Jujun. Pun ketika Dzuhur menyeru. Alasan Jujun dapat ditebak bahwa pelanggannya mengantri di saat jam makan siang tersebut. Saat Ashar memanggil, dia berdalih sudah kelelahan melayani pembeli. Tatkala Magrib dan Isya memanggil, Jujun lagi-lagi telah siap dengan serentetan alasannya. Jujun terlalu cepat menyimpulkan bahwa Tuhan memang tidak berpihak padanya, setaat apapun. Tuhan hanya bisa bergeming dengan kegetiran hidupnya. Seakan Tuhan angkat tangan, tatkala hamba-Nya ditimpa ujian kehidupan. Lagipula, pengetahuan Tarma tentang agama juga tidak begitu istimewa. Sehingga tidak menggugah Jujun untuk bergerak memperbaiki diri. Apalagi karena memang pemahaman Tarma tentang agama sederhana: hidup-itu-ada-yang-punya-dan-cukup-taat-sebisanya-kepada-yang-memiliki-kehidupan....
Mereka berdua mendorong gerobak itu menuju alun-alun kota. Secara keuntungan, Tarma memang masih lebih berkelimpahan. Dengan modal belanja per hari sekitar Rp 500.000,-, dia bisa mendapatkan laba kotor sekitar Rp 1.000.000,-. Pelanggan setianya yang kira-kira menghabiskan 200 mangkuk itu, rela merogoh Rp 5.000,- per porsi.
Urutan mereka senantiasa begitu, Jujun mengekor Tarma dari belakang. Dia memang lebih berpengalaman ketimbang Jujun. Sedikit banyak dia banyak belajar berdagang dari Tarma. Belum dua tahun ini Jujun diajak Tarma berwirausaha. Apalagi setelah Tarma mengetahui betapa gajinya sebagai buruh pabrik kerupuk tidak seberapa. Sejujurnya Jujun banyak balas budi kepada tetangganya di kampung itu. Ah... betapa banyak kenangan manis bersama Tarma. Lalu....
Belum selesai kenangan bersama Tarma berkelebat di benak Jujun selama perjalanan menuju tempat berjualannya itu, sebuah mobil SUV oleng menabrak gerobak Tarma!!! Mie berhamburan kemana-mana!!! Baso bergelindingan!!! Botol saus pecah berserakan!!! Gerobak terseret beberapa meter!!! Tubuh Tarma pun terpelanting!!!
Begitu memarkirkan gerobak Es Buah itu sekedarnya, Jujun segera berlari menghampiri Tarma. Orang-orang sudah berkerumun. Jujun menyibak gerombolan itu, menyeruak di tengah kumpulan mereka. ”Masya Allah! Semoga Kang Tarma teu kunanaon...!” batinnya galau. Tergopoh dia mencangkung. Meraih tubuh tambun itu dalam rengkuhan sayangnya sebagai teman dekat. Sigap memeriksa denyut nadinya. Meraba jantungnya.
Sepasang mata mengerjap-kerjap. Bibir tebal itu bergumam lirih:
”Alhamdulillah, Jun... sholat menyelamatkan saya....”
Ada panas yang menggelayut jendela jiwa Jujun. Pecah. Bulir-bulir hangat menitik. Satu rindu menelusuk. Entah, dia teramat ingin untuk berwudlu....
SEKIAN
Sumber Foto: //cickynovianti.files.wordpress.com
Daftar Istilah:
Sapertos ieu nya: seperti ini, ya; Kang: panggilan untuk pria dewasa; Teu kunanaon: tidak apa-apa/baik-baik saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H