SEPANJANG Ramadhan ybl., rasanya seluruh episode lakon "Para Pencari Tuhan Jilid 15" (PPT#15) saya tonton dengan setia. Lakon televisi atau sinema elektronik (sinetron) seperti yang kali pertama diperkenalkan istilahnya oleh Teguh Karya, itu sungguh memukau dan sejak dari episode 1 hingga akhir selalu 'merampas' perhatian dan menimbulkan kepenasaran.
Apa sesungguhnya kekuatan dari sinetron tersebut?Tentu banyak yang bisa dipetik mengingat seni lakon itu melibatkan banyak unsur sejak ide cerita, naskah/skenario, seni peran, penyutradaraan, ragam penataan, dan (karena berupa seni rekam) maka takterlupakan jasa kameramen, hingga editing.Di sini, satu hal saja, yaitu gabungan antara ide cerita dan naskah/skenario yang keduanya datang dari Haji @deddy_mizwar.
Daya pukau atau kekuatannya justru dari gambaran "ketaksempurnaan manusia" yang tertera di setiap peran. Lakonnya sendiri tentang manusia-manusia yang mencari kesempurnaan seperti ajakan anak judulnya: "Ke Surga Yuk!" Tapi setiap peran dengan jalan hidupnya masing-masing tidak hadir sebagai manusia-manusia sempurna, masing-masing memiliki cacat atau ketidaksempurnaan, justru karena itu jalannya lakon menjadi manusiawi, enak ditonton, penonton jadi seperti melihat cermin (melihat proyeksi gambaran hidupnya sendiri). Pun manakala memperlihatkan potret manusia dari sisi buruk, itu tidak di dalam keburukan yang sempurna apalagi sebagai super-buruk, ia tetap hadir sebagai manusia.
Ini, hemat saya, yang kemudian menjadi modal dasar kekuatan dramatik di tiap episode hingga akhir. Prinsip, 'menghadirkan manusia' sejatinya merupakan modal dasar dari setiap penulis lakon, sebab hanya dengan itulah keterlibatan penonton bisa terjaga. Perhatikan saja bahkan pada lakon-lakon super hero, niscaya diperlihatkan cacat atau kekurangannya sebagai manusia, itu taklain demi membangun emfati atau rasa keterlibatan penonton.
Itulah keberhasilan PPT#15. Takbanyak sinetron-sinetron yang hadir dengan kekuatan dramatik seperti ini, di antara yang sedikit itu harus dicatat lakon televisi "Losmen" dengan skenario yang ditulis Tatiek Maliyati, dan "Si Doel Anak Sekolahan" yang dasar-dasarnya bersumber kepada "Si Doel Anak Betawi" (Sjuman Djaja). Selebihnya adalah sinetron-sinetron yang baru separo episode pun sudah memaksa pindah saluran dan takterdorong untuk kembali.
Terimakasih PPT#15, bukan saja asyik ditonton tapi "ajaran"nya pun terasa merasuk, taktrerlalu menggurui, dan... jadi malu karena ya sering lupa shalat.
Demikian sekadar catatan yang agak terlewat tapi rasanya agak sayang jika takdiposting.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H