Tentu taksemua pekerjaan bisa di'rumahku-kantorku'kan. Pengerjaan bangunan, distribusi barang, pertanian, layanan masyarakat semisal rumah sakit adalah pekerjaan-pekerjaan yang harus diwujudkan di lapangan; namun taktertutup kemungkinan bagi pekerjaan yang bersifat administratifnya. Tapi di sisi lain, niscaya, taksedikit pula jenis-jenis pekerjaan yang sejatinya bisa dikerjakan dari rumah.
Dari yang taksedikit yang bisa di'rumahku-kantorku'kan, sebut saja diantaranya biasa menggunakan sebuah mobil. Berdasar data IESR (Institute for Essential Services Reform), aktivitas sebuah mobil yang berbahan bakar bensin atau solar (yang merupakan energi takterbarukan) akan menghasilkan emisi CO2 sebanyak 200 gram untuk jarak tempuh sejauh 1 km.[2] Jika mobil tersebut per hari pergi-pulang, katakanlah, menempuh jarak 60 km, maka ia akan menyumbangkan emisi CO2 sebanyak 12.000 gram atau 12 kg per hari. Perlu dicatat, data BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Jakarta menyebutkan bahwa ada 20.221.821 buah kendaraan (mobil penumpang, bus, truk, sepeda motor) yang setiap hari beraktivitas di Jakarta. Andai, katakanlah, 10% diantaranya termasuk yang bisa di'rumahku-kantorku'kan, maka didapat angka 2.022.182 kendaraan, dan bisa mengurangi emisi CO2 sebesar 24.266.184 kg per hari!
Sumbangan bagi NDC dan NZE
 Â
Bagaimanapun, itu bukanlah angka yang kecil, dan baru prakiraan atau hitung-hitungan atas kota Jakarta, belum lagi jika kita menghitung kota-kota besar lainya semisal Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Denpasar, dan seterusnya. Jika serempak nicaya akan didapat jumlah luar biasa besar yang bisa disumbangkan bagi NDC (Nationally Determined Contribution) atau target penurunan emisi di negara kita yang ujungnya adalah keikutsertaan secara konkret melaksanakan cita-cita NZE (Net Zero Emission) seperti yang dicanangkan di dalam Paris Agreement ataupun Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Convention on Climate Change -UNFCCC).
Dalam pelaksanaannya tentu taksemudah membalikan telapak tangan, di sebaliknya adalah perubahan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru. Salasatu tantangan terbesarnya adalah masalah disiplin kerja. Bagi yang pesimistik mungkin akan berpandangan sebagai hal yang takmungkin. Tapi sejatinya sangat mungkin bahkan lebih mendorong setiap orang kepada tanggungjawab kerja serta produktivitas hasil kerjanya itu sendiri. Logikanya yang paling masuk akal adalah perpindahan dari 'disiplin' yang berdasar absensi atau kehadiran, itu bertransformasi ke moda atau sistem berdasar 'target kerja.'
Bahkan, jika kita berkenan jujur, sistem absensi atau kehadiran itu menyimpan banyak celah kemungkinan takjujur serta produktivitas yang minim. Banyak anekdot yang sesungguhnya nyata, misalnya, yang mengatakan 'mesin absen yang canggih pun bisa diakali,' atau 'hadir sih hadir, tapi waktunya lebih banyak dipakai main catur atau ngobrol ketimbang kerja.' Sementara sistem target kerja adalah jelas hitungannya langsung kepada buah kerja, dan langsung mengacu kepada 'ada' atau 'takada'nya seseorang, dan/atau 'berfungsi' atau 'takberfungsi'nya seseorang di hadapan tugas kerja yang telah ditargetkan untuk pencapaian tertentu.
Potensi ekonominya pun jelas. Hadir tapi lebih banyak ngobrol, niscaya hanya menghasilkan produk yang minim bahkan bisa nol. Sementara moda 'target kerja' sudah tampak gambaran pencapaiannya bahkan sejak masa perencanaan.
Berdasar pengalaman PSBB/PPKM yang awalnya dijalani dengan canggung dan bingung tapi akhirnya bisa, maka 'rumahku kantorku' pun seyogianya bisa.***
-------
[1] Selama Pandemi Covid-19, Emisi Karbon Global Turun 2,4 Miliar Ton, Kompas.com 13/12/2020.