Beberapa hari yang lalu terbetik berita adanya dua pelajar SMP di Kabupaten Purwakarta yang meninggal akibat kecelakaan lalulintas (lakalantas) setelah sebelumnya terjadi perkelahian antar sesama pelajar sambil menaiki motor. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mengapa anak-anak muda usia dapat menaiki motor di jalan raya, sementara mereka belum memiliki SIM. Sudah tentu bukan hanya polisi dan pihak berwajib lainnya yang ikut bertanggung jawab atas kejadian ini, namun juga orang tua, sekolah, dan masyarakat pada umumnya. Pemda Kabupaten Purwakarta sudah cukup antisipatif dengan melarang murid SMP menaiki motor, namun ternyata masih bisa juga terjadi pelanggaran peraturan tersebut.
Peristiwa seperti itu bukanlah kejadian langka, hampir setiap hari di negeri ini terjadi lakalantas dengan korban ringan hingga berat. Lakalantas memakan korban jiwa sekitar 28 ribu jiwa tahun 2015, atau rata-rata ada 80 orang meninggal dunia setiap hari. Sungguh suatu angka yang sangat besar, lagipula cukup banyak korbannya adalah kalangan remaja.
Menjadi perhatian dunia
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Dunia (Sustainable Development Goals) yang diprakarsai PBB memasukkan keselamatan di jalan (road safety) sebagai salah satu tujuan pembangunan, karena kematian akibat lakalantas membawa dampak besar secara ekonomi, sosial dan pembangunan. Target yang ingin dicapai adalah menurunkan hingga separoh kematian akibat lakalantas pada tahun 2020, ini artinya tinggal empat tahun lagi target itu akan harus dicapai.
Secara global, lakalantas merenggut 1,2 juta jiwa setiap tahun (140 ribu orang/hari) dan menimbulkan masalah kesehatan besar bagi mereka yang mengalaminya. Biaya lakalantas diperkirakan sekitar 3-5% dari PDB, dengan negara berkembang mengalami kerugian (dalam persen PDB) yang lebih besar daripada negara maju. Tingginya lakalantas di negara berkembang diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki penduduk. Pejakan kaki, pesepeda dan pengendara motor merupakan kelompok paling rentan dalam lakalantas, sekitar 50% kematian di jalan melibatkan kelompok ini, di beberapa negara angka ini bisa mencapai 80%.
Pada tahun 2004, PBB mengeluarkan Resolusi nomor 58/289 tentang peningkatan keselamatan di jalan secara global, yang menyerukan kerjasama internasional untuk mengatasi masalah keselamatan di jalan. Resolusi itu ditindaklanjuti dengan Resolusi nomor A58/L.60 tahun 2005 yang intinya mendorong negara-negara anggota PBB untuk mengimplementasikan pencegahan kecelakaan lakalantas, memberi perhatian lebih pada faktor-faktor penyebab kecelakaan, dan untuk membentuk instansi yang memimpin peningkatan keselamatan di jalan.
Jika di negara maju peraturan keselamatan di jalan sudah memadai, di negara berkembang peraturan itu belum ada, atau tidak lengkap, atau tidak efektif dilaksanakan. Peraturan keselamatan di jalan itu terutama mengenai kecepatan, minuman keras, helm, sabuk pengaman, dan panjagaan anak-anak. Laporan WHO menyebutkan bahwa penggunaan sabuk pengaman dan helm, dan penjagaan anak telah terbukti efektif mengurangi banyak korban. Selain itu pengenaan batas kecepatan maksimal, penyediaan infrastruktur jalan yang lebih aman, penerapan batas konsentrasi alkohol dalam darah, dan aspek keamanan kendaraan juga membantu mengurangi kejadian dan korban lakalantas.
Diantara berbagai peraturan tersebut, yang paling utama adalah tentang kecepatan maksimal yang diperbolehkan. Penurunan kecepatan sebanyak 15% dapat mengurangi kecelakaan fatal sekitar 50%, karena energi kinetik meningkat 4 kali jika kecepatan bertambah 2 kali. Ini berarti semakin tinggi kecepatan, semakin lama waktu yang diperlukan kendaraan untuk berhenti dan semakin besar energi kinetik yang harus diserap pengendara yang mengalami tabrakan.
Menurut Global Road Safety Partnership, batas atas kecepatan kendaraan bermotor di tengah kota di mana terdapat banyak kelompok rentan (pejakan kaki, pesepeda dan pengendara motor) yang dianjurkan adalah 30 km/jam. Batas kecepatan ini dapat ditingkatkan menjadi 50 km/jam di jalan luar kota kecuali jika ada bundaran di perempatan (roundabout), dan dibatasi maksimal 70 km/jam untuk jalan luar kota yang ada resiko tabrakan pada jalur yang tidak terpisah. Kecepatan lebih tinggi baru dimungkinkan bilamana infrastruktur, kendaraan dan perilaku pengemudi memenuhi persyaratan.
Penegakan peraturan
Di Indonesia, peraturan lalulintas sudah memadai, namun penerapannya belum cukup baik. Rambu-rambu jalan seringkali tidak ada atau tidak jelas. Tidak setiap penggal jalan “dihiasi” dengan marka jalan untuk mengatur kelancaran dan keselamatan berkendara. Zebra cross adalah marka jalan yang sangat penting, namun tidak selalu ada di setiap jalan yang ramai dengan pejalan kaki. Jika terlihat ada kendaraan bermotor tiba-tiba masuk ke jalan besar dari jalan yang kelasnya lebih rendah, maka kemungkinan hal itu karena rambu-rambu harus berhenti yang bentuknya segitiga terbalik ditambah tulisan STOP itu tidak ada. Audit kelayakan jalan mungkin tidak dilakukan secara rutin. Selain itu nomor telpon yang mudah diakses untuk keadaan darurat di jalan cenderung tidak selalu ada.