Mohon tunggu...
Herry Darwanto
Herry Darwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Ingin menikmati hidup yang berkualitas

Penyuka musik keroncong & klasik, gemar berkebun, penggemar jajan pasar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melebur Sekat-sekat dalam Masyarakat

15 November 2020   04:39 Diperbarui: 15 November 2020   05:11 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pagi hari, ketika dua orang berpapasan, biasa terdengar salah seorang mengucapkan: "Ohayo... " dan segera dibalas dengan ucapan yang sama oleh orang kedua: "Ohayo... " Artinya: "Selamat pagi". Itu ucapan diantara orang-orang sebaya. Dengan orang yang lebih tua, ucapannya lebih panjang: "Ohayo gozaimas..." Artinya tetap sama namun lebih halus: "Selamat pagi, BapakMelebur Sekat-sekat dalam Masyarakat

Pada pagi hari, ketika dua orang berpapasan, biasa terdengar salah seorang mengucapkan: "Ohayo.../Ibu".

Itu kebiasaan menyapa di masyarakat Jepang yang dilakukan kepada siapa saja, kenal atau tidak kenal. Kebiasaan yang sama juga terlihat dilakukan di negara-negara maju lain, "Good morning..."

Namun saya tidak selalu mendengar saling sapa demikian di sini, khususnya di luar lingkungan perkantoran. Orang tidak terbiasa mengucapkan sepatah katapun saat berpapasan dengan orang lain di jalan dalam suatu komplek perumahan karena tidak saling kenal.

Saling sapa hanya umum terjadi diantara orang-orang yang saling kenal, dengan ucapan "selamat pagi" atau "assalamu'alaikum". Dilanjutkan dengan obrolan seperlunya.

Lain padang memang lain belalang.

Namun saya pikir, saling menyapa dengan perasaan yang bersahabat kepada orang yang tidak dikenal sungguh sangat berguna untuk membentuk masyarakat yang guyub/kohesif. Dan umumnya jika didahului disapa orang dengan nada yang ramah, orang pun akan membalasnya dengan ramah pula. 

Jadi kemauan untuk menyapa orang terlebih dahulu itu, yang di masyarakat kita tidak ada atau kurang terbiasakan.

Saya termasuk orang yang berperilaku demikian, karena saya tidak konsisten menyapa orang terlebih dahulu ketika berpapasan dengan orang lain saat bertemu di lingkungan permukiman, atau ketika mau duduk di dalam bis kota, misalnya.

Ada saja alasan saya untuk tidak mendahului menyapa, antara lain: khawatir dianggap ada maksud jahat, gengsi karena orang lain itu lebih muda atau status sosialnya lebih rendah, atau sekedar malas atau sungkan saja.

Saya juga merasa berat hati untuk mengucapkan selamat pagi kepada bibi-bibi yang bertugas membersihkan jalan di sekitar perumahan kami. Walaupun saya agak menyesal karena setelah momen pertemuan itu saya tidak menyapa mereka terlebih dahulu, pada hari lain saya kembali melakukan hal yang sama. Saya merasa menjadi orang yang tidak tahu etika kebangsaan jika mengingat perilaku saya yang sombong itu.

***

Tidak hanya sapaan "selamat pagi", masyarakat kita juga cenderung tidak biasa mengucapkan dua kata penting lain, yaitu "maaf" dan "terima kasih".

Di negara-negara maju yang saya tahu, dua kata itu keluar dengan spontan saat ada kejadian yang menuntut keluarnya ucapan itu. Kata "maaf/permisi" ("excuse me, sumimasen") biasa diucapkan untuk meminta pengertian karena telah membuat orang lain agak terganggu. 

Ketika akan duduk di dalam bis kota atau kereta api, misalnya, seseorang akan spontan mengucapkan kata itu kepada orang lain yang sudah duduk di sebelah kursi kosong itu jika orang itu perlu sedikit menggeser posisi duduknya.

Di sini, saya tidak terlalu sering mendengar orang mengucapkan kata "maaf/permisi" kepada orang yang telah duduk di sebelahnya.

Kata "maaf" yang lain, yang berarti "sorry", lebih jarang lagi diucapkan oleh kebanyakan kita. Saya, misalnya, tidak biasa bilang "maaf" ketika saya secara tidak sengaja menyikut orang lain di dalam lift yang tidak sesak, atau melempar kertas ke keranjang sampah tapi meleset mengenai badan anak saya, dan banyak lagi kejadian seperti itu.

Kata "terima kasih" juga jarang saya ucapkan kepada istri saya ketika ia menyajikan segelas teh manis di sore hari, atau kepada kasir di suatu toko swalayan ketika saya menerima barang belanjaan yang saya beli. Saya juga dulu tidak biasa mengucapkan terima kasih kepada supir kantor setelah tiba di rumah. Saya menganggap itu sudah tugasnya, jadi saya tidak perlu berterima kasih.

***

Mengucapkan sapaan "selamat pagi, maaf, terima kasih" adalah penting untuk membentuk masyarakat yang peduli pada orang lain. Menerima ucapan itu membuat kita merasa dihargai, diakui keberadaan kita, membuat kita merasa berguna dalam masyarakat. Dan mengucapkan sapaan itu membuat kita merasa nyaman, memandang orang lain dengan kacamata positif, dan mencuatkan rasa bahagia dalam hati.

Andaikata setiap orang terbiasa memberikan perhatian dan penghargaan kepada orang lain tanpa mempertimbangkan statusnya, maka hubungan antarorang tentulah akan lebih baik.

Jika kita semua terbiasa mengucapkan kata-kata itu kepada siapapun, maka masyarakat yang saling menyayangi dan menghormati akan terwujud. Dan sekat-sekat dalam masyarakat yang masih ada karena perbedaan agama, ras, dan kelas sosial itu akan bisa lebur. 

Jika itu terjadi, maka tentulah kita akan merasa bangga dan bersyukur menjadi bangsa Indonesia. <>

HD, 14/11/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun