Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa produk-produk pangan (pertanian dan perikanan) yang dijual di berbagai supermarket besar di negara-negara maju ternyata diproduksi oleh petani dan buruh pabrik pengolah makanan di negara-negara berkembang yang upahnya sangat rendah.
Fakta itu diperkuat oleh riset yang dilakukan oleh lembaga sosial Oxfam dalam laporan berjudul Ending Human Suffering In Supermarket Supply Chains Ripe for Change, yang diluncurkan pada 21 Juni 2018 lalu [sumber]. Beberapa temuan lain dari riset tersebut kiranya patut untuk disimak.
Pada tahap input dan layanan awal, tiga konglomerat dunia mendominasi hampir 60% omzet perdagangan benih dan bahan kimia pertanian di seluruh dunia. Pada tahap penanaman, sebagian besar lahan pertanian di muka bumi ini berskala kecil, namun 1% dari seluruh lahan pertanian itu terdiri dari petak-petak lahan seluas 50 hektar lebih, dan pemiliknya mengontrol 65% lahan pertanian di seluruh dunia.
Kemudian pada tahap perdagangan dan pemrosesan, empat perusahaan menguasai 70% keuntungan perdagangan komoditas pertanian dunia seperti gandum, jagung dan kedelai. Pada tahap pengolahan, 50 industri makanan menguasai separoh penjualan makanan di seluruh dunia.
Dan pada tahap terakhir, yaitu penjualan dan pemasaran, sepuluh supermarket menguasai separoh lebih penjualan eceran di negara-negara Uni Eropa. Di Inggris empat supermarket menguasai 67% pangsa pasar sayuran dan di Belanda lima supermarket menguasai 77%.
Kesimpulannya, perdagangan bahan pangan di negara maju dikuasai oleh beberapa gelintir supermarket besar. Mereka menyaingi toko-toko sayuran (groceries) di permukiman-permukiman, di pinggir-pinggir jalan, dan di pasar-pasar tradisional, yang ada di kota-kota besar hingga kota-kota kecil.
Yang menyedihkan adalah bahwa setelah berhasil di negara-negara maju, pola perdagangan skala besar model supermarket itu kemudian merambah ke negara-negara berkembang, mula-mula ke Amerika Latin, kemudian ke Asia dan Afrika.
Laba supermarket meningkat
Penguasaan rantai pasokan pangan dari sawah hingga ke meja makan itu membuat segelintir supermarket dunia dapat menentukan jenis, ukuran, kualitas, harga dan wilayah pemasaran produk-produk pangan sesuai strategi pemasaran mereka.Â
Persaingan sesama supermarket menyebabkan harga produk-produk pangan kemasan yang sampai ke konsumen akhir cukup rendah. Hal ini menguntungkan konsumen di perkotaan namun merugikan petani dan buruh pabrik karena upah mereka dibayar rendah oleh para pedagang perantara.
Oxfam mencatat ada banyak pelanggaran dalam perdagangan skala besar ini, seperti tidak adanya kontrak tertulis, penundaan pembayaran kepada petani, pembayaran ditentukan oleh kondisi pemasokan ke supermarket, dan sebagainya.