Media massa pasca liburan Lebaran 2018 ini menonjolkan berita tentang utang luar negeri Indonesia yang mencapai Rp. 5.000 triliun. Banyak orang menyangka bahwa angka itu adalah utang pemerintah kepada pihak asing. Sebelumnya banyak beredar informasi tentang semakin besarnya utang pemerintah Indonesia kepada satu negara tertentu. Maka dengan mudah orang dapat menyimpulkan bahwa negara telah digadaikan kepada negara itu.
Ada juga yang mengatakan bahwa utang dalam negeri juga cukup besar, maka total utang pemerintah menjadi berlipat ganda. Sasarannya tentu saja agar timbul kesan bahwa pemerintah Presiden Jokowi telah menambah beban kepada rakyat dengan membuat utang yang sangat besar. Tidak hanya generasi sekarang namun juga generasi yang akan datang terkena beban untuk membayar utang.
Tidak cukup sampai disitu, beberapa pengamat menunjukkan tidak adanya dampak utang yang besar itu terhadap ekspor dan pertumbuhan ekonomi, maupun terhadap kehidupan rakyat sehari-hari. Disimpulkan bahwa utang yang besar pada era Presiden Jokowi ini tidak banyak memberi manfaat bagi rakyat. Pembangunan infrastruktur yang tidak  otomatis mendorong perekonomian jarang dijelaskan.
Masalah utang pemerintah menjadi semakin berat ketika nilai dolar terhadap rupiah semakin meningkat seperti saat ini. Banyak yang menjadi khawatir, jangan-jangan pemerintah tidak mampu membayar utang, dan krisis ekonomi tahun 1997 akan terjadi lagi.
Utang pemerintah terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Utang dalam negeri pemerintah terdiri dari penjualan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman dalam negeri. Utang luar negeri pemerintah terdiri dari SBN yang dimiliki oleh non-residen dan pinjaman dari kreditur asing, utamanya dari beberapa negara lain dan dari lembaga keuangan multilateral. Utang luar negeri pemerintah ada yang berjangka panjang dan ada yang berjangka pendek, yang harus segera dibayar pemerintah.
Pemerintah perlu menjelaskan berapa komposisi masing-masing jenis utang itu. Penjelasan ini penting karena menyangkut kepentingan nasional dan agar tidak menjadi bahan kampanye negatif. Penjelasan perlu dilakukan secara rutin, sebaiknya sebulan sekali, mirip dengan penjelasan BPS tentang inflasi bulanan.
Memang Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, pejabat Bank Indonesia, bahkan Presiden sendiri berkali-kali memberikan penjelasan mengenai posisi utang luar negeri pemerintah dan bahwa pemerintah mampu membayarnya. Namun penjelasan itu agaknya kurang lengkap dan kurang dapat dipahami oleh orang kebanyakan. Maka saran yang disampaikan disini adalah lebih seringlah berbicara kepada rakyat, karena rakyat perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rakyat tentunya siap untuk ikut membantu meringankan beban negara.--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H