Kebakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan sebagai penyebab kabut asap dengan rentang waktu yang paling lama yang pernah saya alami selama tinggal di Sumatera, telah menyebabkan kerugian baik secara ekonomi, sosial maupun kesehatan, bahkan telah jatuh korban jiwa dimasyarakat (sebagaimana diberitakan pada media mainstream dan media sosial beberapa hari belakangan ini).
Menyimak pernyataan Ketua Bidang Agraria Kelapa Sawit Indonesia Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono pada acara Indonesia Lawyer Klub beberapa malam lalu, dikatakan oleh beliau bahwa : “perusahaan perkebunan sawit tak mungkin membakar lahannya secara sengaja karena sudah dianggap sebagai bagian dari mesin produksi dan ada ancaman hukum berat yang akan dihadapi, sehingga tak mungkin ada perusahaan perkebunan sawit yang sengaja membakar lahannya sendiri dengan regulasi yang ketat saat ini. Apalagi, lahan itu bagian dari mesin produksi, jika dibakar artinya tak ada produksi”.
Dengan alasan bahwa : “Saat ini perusahaan perkebunan membuka lahan sawit dengan cara mekanisasi dengan biaya sekitar Rp. 6 Juta per ha. Sementara investasi yang dikeluarkan dari awal menanam sampai panen Rp 60-70 juta per ha atau hanya 10% dari total biaya. “Kalau hanya menghemat Rp. 6 Juta per ha dengan risiko yang begitu besar, artinya begitu ketahuan membakar izin dicabut dan dikenakan denda yang begitu besar bukan lagi puluhan miliar tapi ratusan miliar rupiah, apakah benar ada perusahaan sawit akan bertindak sekonyol itu untuk land cleaning.”
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Eddy Martono tersebut rasanya tidak berlebihan secara logika dikepala kita, berapa banyak perusahaan kelapa sawit yang terdaftar sebagai anggota GAPKI sehingga beliau dapat memetakan kondisi ini bukan kesalahan yang disebabkan oleh perusahaan kelapa sawit ?
Lalu saya coba kutip lagi, pernyataan beliau : “Bahwa GAPKI memiliki cabang di 12 Provinsi dengan total luas areal yang dikelola mencapai 3,9 juta ha dengan jumlah anggota 663 perusahaan. Sementara total areal perkebunan sawit di Indonesia mencapai 10,9 juta hektar. artinya, anggota GAPKI menguasai hanya sekitar 35% dari total luas kebun sawit di Indonesia . Dari kebakaran di kebun sawit yang merupakan anggota GAPKI, ada 14 perusahaan dengan total luas 2.900 ha di mana plasma yang terbakar sekitar 1.000 ha dan kebun inti 1.900 ha. “Dari total yang terbakar hanya 100 ha yang belum tertanam, selebihnya ada tanamannya. Logikanya, mana ada perusahaan mau bakar (lahan) yang sudah menghasilkan uang.”
Pertanyaan selanjutnya, kalau perusahaan kelapa sawit tidak mau dituduh sebagai dalang terjadinya kebakaran hutan ini, lalu siapa lagi pelaku terhadap kebakaran hutan ini ?
Kebetulan saya cukup mengenal Bapak Tungkot Sipayung Dir. Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute dan kebetulan pernah beberapa kali berdialog dengan beliau saat bertemu sapa dalam acara GAPKI, menurut beliau ada faktor regulasi yang sepertinya harus dipertimbangkan untuk direvisi oleh Pemerintah yaitu : UU No. 32 Tahun 2009 yang membolehkan masyarakat membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan aturan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan.
Dan menurut pendapat beliau regulasi inilah yang relatif sangat berpengaruh memicu terjadinya kebakaran hutan seperti saat ini.
Jika kita pikir-pikir apa yang disampaikan oleh pak Tungkot tadi ada benarnya, memang aturan memperbolehkan masyarakat umum untuk membuka lahan dengan cara dibakar dengan luas maksimal 2 hektar, tetapi coba bayangkan jika pembakaran hutan untuk membuka lahan ini dilakukan oleh misalnya 100 orang warga masyarakat, maka bisa dipastikan titik api yang diciptakan adalah seluas 2 Ha x 100 0rg = 200 Ha, bagaimana jika ada 500 orang warga masyarakat di Sumatera dan Kalimantan yang pada saat ini membuka yang lahannya (500 orang x 2 Ha = 1.000 Hektar), bayangkan jika lebih dari jumlah tersebut. Ditambah lagi kondisi musim kemarau yang panjang ditahun ini, semakin mempercepat tersebarnya titik-titik api sehingga menjadi sulit untuk dikontrol oleh masyarakat yang membuka lahannya.
Namun kita juga harus sadar bahwa, tidak mungkin khan masyarakat yang ingin bertani dan berkebun dilarang untuk membuka lahan dengan cara dibakar, sebab masyarakat bukan perusahaan sehingga tidak memiliki sumber daya yang cukup memadai seperti tersedianya excavator, bulldozer dan lain-lain yang memerlukan biaya cukup tinggi jika dilihat dari sisi warga masyarakat.
Oleh karena itu dengan menelisik hal-hal diatas rasanya untuk saat ini pemerintah jangan terlalu memfokuskan diri mencari siapa penyebab kebakaran hutan pada saat ini, karena yang paling penting saat ini adalah pemerintah harus bergerak secara cepat dengan seluruh sumber daya yang ada agar segera dapat memadamkan titik api- titik api yang masih menyala dan setelah bencana ini agak teratasi silakan pemerintah melakukan tindakan tegas berdasarkan aturan perundangan yang berlaku kepada pihak-pihak yang secara hukum telah terbukti secara sengaja melakukan pembakaran hutan, agar dikemudian hari masalah laten ini tidak berulang kembali dimasa mendatang.