Mohon tunggu...
Herri Mulyono
Herri Mulyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Bercita-cita menjadi pribadi sejati yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Website: http://www.pojokbahasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

How Can You Kill Your Friends?

26 Desember 2016   11:43 Diperbarui: 26 Desember 2016   11:59 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://stopthehate.hrc.org/

"Lalu bagaimana mereka membunuh teman baik mereka sendiri?" tanya Dr Jonathan Brown, associate professor dari Georgetown University (baca kisah lengkapnya disini). Saat itu Jonathan sedang berada di Sarajevo, bersama kolega yang juga seorang Profesor di Bosnia. Teman Bosnia-nya itu sulit menjawab pertanyaan Jonathan dengan kata-kata. Lalu kepada Jonatahan ia pun mengisahkan bagaimana keluarga besarnya ditembak di depan matanya sendiri, tanpa rasa bersalah, dan dipenuhi dengan kegembiraan untuk membunuh. Tidak ada penyesalan ketika mereka membunuh orang yang tidak bersenjata, anak-anak kecil yang tak bersalah, dan bahkan teman-teman baik mereka sendiri. Dan mereka merekamnya.

Profesor Bosnia itu kemudian mengisahkan bagaimana pemberitaan media tahun 1980an dan 1990an begitu intensif menebar kebencian terhadap Muslim. Dalam berbagai pemberitaan, dalam berbagai film dan laporan-laporan lainnya, Muslim digambarkan begitu buruk, bengis, yang pernah melakukan pembantaian terhadap kaum Serbia dan merampas tanah mereka selama tahun 1941-2. Dan pemberitaan "kebencian" itu berlangsung tahun demi tahun, dan kian menjadi-jadi di tahun 1990. Dan tibalah di tahun 1995 ketika kebencian itu memuncak, ketika pembantaian massal terhadap 8000 Muslim Bosnia oleh tentara Serbia di Srebrenica terjadi. Kaum Serbia merekamnya dengan bangga pada video-video mereka. Tanpa ada iba, sedih ataupun penyesalan.

Cerita diatas merupakan satu dari dua kisah yang disampaikan oleh Jonathan dalam sebuah artikel dalam Blog pribadinya 13 November 2016 yang lalu (saya ambil salah satu judul bagian artikel tersebut sebagai judul artikel di kompasiana). Cerita dimana "kebencian" di pupuk selama bertahun-tahun yang kemudian menjadi sebuah fenomena yang disebut dengan "dehumanisasi"; atau menjadikan orang bukan lagi sebagai manusia, sehingga layak di bunuh. Seperti pada kasus Serbia-Bosnia, dimana kaum Serbia melakukan dehumanisasi terhadap kaum Muslim Bosnia sehingga layak untuk dimusnahkan (dehumanisasi antar etnis). Terlebih, Jonatahan juga menyebutkan bagaimana konflik mesir juga mengindikasikan dehumanisasi kelompok muslim (Ikhswanul Muslimin) oleh kelompok muslim yang lain (dehumanisasi sesama kelompok dalam etnis) (lihat cerita Jonathan tentang konflik Mesir dan pembantaian Rabi tahun 2013). Jonatahan menuliskan:

"I remember well a friend of mine, a pious Muslim who an impeccable political conscience, coming to my house and telling me and my family that he wanted to “devote [his] life to destroying the Muslim Brotherhood,” to making sure that any mention of the Brotherhood was removed from “the pages of history.”"

Berawal dari kebencian

Kita di Indonesia ini, langsung ataupun tidak langsung sedang dibombardir dengan peluru-peluru "kebencian". Diyakini atau tidak, kita mungkin tengah berada dalam peperangan (media) antar etnis, dan yang lebih mengkhawatirkan "antar kelompok" dalam etnis. Baik mereka yang mengkategorikan sebagai "lover" ataupun "hater" keduanya saling menyerang di linimasa dengan tanpa henti, jam demi jam, hari demi hari, dan berlangsung terus menerus. Kita diekspos oleh tweet-tweet kebencian, broadcast kedengkian dan status-status lain yang menistakan satu sama lainnya. 

Disadari atau tidak, kita pun seringkali ikut turun dalam "peperangan" itu dengan turut serta menyebar (sharing) berita-berita kebencian yang, bila mau jujur, kita sendiri tidak tahu asal dan muasalnya, belum lagi tentang kebenaran isinya. Akun-akun palsu merajalela mengatasnamakan ulama, pubik figur dan akun profokatif lainnya. Bagi kaum oportunis, inilah saat meraup untung dolar dan rupiah dari jumlah share dari "para pejuang yang merasa suci" itu, sebagai "lover" ataupun sebagai "hater". 

Jangan bicara tentang "pendidikan" bila kita mengaku ekstrimis "lover" ataupun dalam posisi esktrimis "hater". Untuk dua posisi ini, pendidikan tidak akan lagi berpengaruh. Jenjang pendidikan yang kita telah dapatkan dibutakan oleh "kebencian" yang sudah menjajah hati dan pikiran kita. Anda bisa lihat sendiri bagaimana berita-berita (hoax) yang berisi kebencian justru di bagi oleh mereka yang berpendidikan tinggi.

Kebencian yang terekspos tiap saat kemudian melekat dihati, yang kemudian -dalam kurun waktu sepuluh tahunan dalam konteks perang Serbia-Bosnia- membangtkitkan sebuah semangat "dehumanisasi" (mentidak manusiakan manusia). Walhasil, ketika fenomena dehumanisasi ini sudah terjadi, maka "pertumpahan darah dengan rasa bangga" seperti yang dilakukan oleh kaum Serbia akan terjadi. Bila gendang tweet war sudah ditabuh semenjang pilpress 2014 kemarin, bila kebencian itu terus menyebar dan berakar tanpa ada henti, maka -bila mengikut kasus Serbia-Bosnia, hanya butuh waktu 15 tahun kebencian itu akan membuat kita saling men-dehumanisasi sesama kita, yang juga diturunkan ke anak-anak kita. Naudzu billahi minzalik.

Kita bersaudara

Kita hidup di negara kesatuan Republik Indonesia sebagai saudara. Bukan hanya Pancasila yang menyatukan kita, tapi rasa percaya, kasih sayang, dan belas kasih yang telah diajarkan oleh para leluhur dan pendidiri Bangsa ini. Perbedaan merupakan hal yang wajar, karena memang kita fisik dan pandangan kita seringkali memang berbeda. Tapi perbedaan bukan alasan untuk membenci dan menebar kebencian. Sikap Muhammadiyah dan NU dalam menyelesaikan perbedaan (dan tidak kesetujuan) layak menjadi contoh. Muhammadiyah misalnya, lebih memilih menyelesaikan sikap tidak setuju terhadap arus revisi undang-undang ormas melalui jalur yang dibenarkan oleh hukum (lihat link ini), bukan dengan menebar-nebar meme negatif, ataupun kebencian lainnya berlandasan teori konspirasi (praduga).

Oleh karenanya, marilah, kita bersama tolak semua kegiatan (aktivitas) yang menebar kebencian, baik dalam tweet, status, meme dan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun