Tahun pertama kuliah di Univ of York merupakan masa-masa yang begitu menegangkan, dan dalam konteks tertentu 'menyeramkan' bagi saya. Bukan hanya tentang tekanan untuk lebih banyak membaca, sehingga saya dapat berargumen dengan pembimbing, tapi juga rasanya setiap yang saya kerjakan selalu saja ada yang salah, kurang, dan, menyimpang.Â
Padahal, menurut saya, semua sumber sudah dibaca, dan, dengan segala keyakinan, saya akan dapat menjawab pertanyaan yang diberikan ketika supervision meeting yang tiap dua pekan itu.
Tapi ya itu, ada aja celah pertanyaan yang saya terlewat, dan muncul  moment-moment: 'oh iya bener juga', 'kenapa gue ga kepikirian', 'kok gue bego amat yak'.
Ini belum ditambah masalah teknik menulis yang berputar-putar sehingga ide utamanya tidak muncul, atau bahkan tidak bisa dimengerti sama sekali. Selain juga minimnya pengetahuan saya tentang istilah-istilah akademik sesuai dengan topik yang diberikan, dan kekurangan-kekurangan lainnya. Tapi kalau kurang ganteng, ya ga juga ha ha ..
Akhirnya setiap diujung hari selalu saja ada kegelisahan dan penyesalan: "S1 dan S2 dulu gue kemana aja?" atau "dulu gue emang belajar apaan yak?"
Nyesel dan nyeseknya sampai ubun-ubun, sampe nangis segala. Serius!!
Belum lagi ditambah pendarahan lambung dan usus gegara masalah pencernaan akibat stress!!
Hadeeeh... kapooook tenan!!! Ga bakalan deh gue mau ngulang pengalaman studi doktor LN lagi!! (... eh sekarang malah postdoc ha ha ha)
Tapi setelah beberapa kali refleksi, saya tahu jawabannya. Ini teguran Tuhan buat orang yang sok tahu, dan sok-serba tahu; ya kaya saya ini. Sebagai seorang dosen (guru), saya memiliki kewajiban mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, ceramah dari satu kelas ke kelas lain, kadang menjadi narasumber guru disekolah lain. Melangkah dari strata 1 (S1) ke S2 rasanya bertambah yakin, bahwa saya memiliki pengetahuan lebih dari siswa, atau guru-guru lain yang gelarnya masih satu.
Pertanyaan-pertanyaan siswa dikelas sangat mudah saya jawab, padahal itu karena tidak ada orang yang bisa memvalidasi kebenarannya. Wal hasil, sering sekali saya merasa jumawa, bertolak pinggang, atau main-main jari telunjuk: "eh kamu, sini", tipikal guru yang otoriter. Padahal ilmu saya ternyata hanya seujung kuku saja, atau lebih sedikit dari itu. Untungnya saya ga ikut-ikutan pakai gaya kekerasan kaya tetangga sebelah.
Dan Tuhan tahu tentang bagaimana menegur hambanya, tanpa harus menghina. Dengan cara yang begitu menyemangati, tapi juga menyadarkan: dikirim untuk studi lanjut ke Univ of York, biar ga jago kandang, biar cara membandingkan ilmu bukan dikandang sendiri, tapi puluhan kandang lain dengan karakteristik dan sudut pandang terhadap pengetahuan yang begitu beragam.