In memoriam: Bapak Hartoyo, M.A., Ph.D
Cuaca pagi hari Vesprem mulai terasa dingin. Mungkin mentari mulai malas lagi untuk bangun lebih awal, setelah satu dua hari kemarin lelah bermain-main dengan angin dan pepohonan yang daunnya mulai gugur.
Untungnya, pagi itu saya sudah berada dibalik jendela sebuah cafe yang berdinding cat merah, dengan meja kursi kayu tempo dulu yang dibalut dengan warna putih klasik.
Kaca kafe itu begitu bersih, dan jernih, membuat strip stiker abu-abu bertulis Koko yang berulang-ulang padanya tidak dapat menghalau pandangan saya pada langkah-langkah pejalan kali yang hilir mudik di pusat kota.
Sepi memang. Tapi bukan karena dingin yang menusuk-nusuk kulit, sehingga orang enggan keluar dan menghabiskan waktunya di pertokoan, supermarket, atau sekedar duduk dan bercengkrama di bangku dekat taman-taman kota.
Ya karena ini hari minggu. Hari minggu adalah hari untuk menikmati kehangatan keluarga, menikmati makan pagi bersama ayah, bunda, dan anak-anak; atau menghias taman dengan bunga-bunga di depan rumah; atau mungkin sekedar bergemul dengan selimut untuk membalas stress selama lima atau enam hari yang lalu.
Yang pasti, hidangan secangkir cappuccino dengan kue krim keju berlapis strawberi sudah cukup bagi saya untuk mengusir keheningan suasanan kamar flat yang sudah mulai membosankan. Apalagi, senyuman waiter berambut pirang itu begitu ceria. Serta, rasa pahit manis tetesan cappucino sangat sempurna dilidah, dengan campuran rasa manis asam yang berasal dari kue krim itu.
"Suasana dingin merupakan ciri khas Eropa," kata saya, kepada teman yang sedang menyelesaikan studi doktornya.
"Setiap sentuhan angin yang membawa dingin kota Vesprem itu begitu bernuansa, dan saya sangat menikmatinya"
Tapi siapa sangka, perjalanan saya dari satu negara, ke negara lain, dari satu kota, ke kota lain, adalah berkat sebuah nama: Bapak Hartoyo, M.A., Ph.D. Seorang guru dan mentor diawal-awal saya mengenal sebuah profesi mengajar lainnya: seorang Dosen.
Dulu, saya sempat begitu pesimis dengan karir sebagai dosen ini. Khususnya, karena janji-janji untuk studi lanjut tidak juga kunjung datang. Ungkapan belum loyal, belum berkontribusi, dan belum-belum lain sebagainya, bertebaran tiap hari, disematkan kepada saya yang masih bimbang untuk memulai karir. Intinya, saya tidak layak! dan tidak akan pernah layak bagi orang itu.