A.S. Laksana, seorang penyair ternama yang semua orang tahu, seorang yang secara aklamasi saya jadikan sebagai mahaguru menulis dan melukis ide, menulis surat terbuka, surat terbuka untuk siapa saja. Lewat unggahannya di dinding Facebook, dia bagikan surat itu, di suatu pagi yang tidak terlalu pagi, pada jam 7:18, tepat ketika matahari tengah membelalakkan matanya, walau sayangnya, senyum mentari itu terlihat terbelenggu di balik awan.Â
Sungguh sialnya, awan pagi itu bergumul, ramai-ramai berkumpul, seperti sengaja berniat jahat menutup mata sang mentari. Jadi wajar saja, walaupun mentari begitu gagah menyinari dunia dari seratus juta kilo meter nun jauh di sana, kelabu awan tetap menjadi raja, apalagi gerumulan awan itu tengah bersorak sorai riang memijit-mijit tangan-tangan, dan kaki kakinya, sehingga bulir-bulir air jatuh dari langit, membekas dikaca mobil yang berdebu yang saya kendarai pagi itu.Â
'Para penulis yang saya hormati', begitu bung Sulak, sebutan untuk sang penyair, membuka suratnya. Walaupun judul suratnya itu ditulis dengan 'Surat Terbuka kepada Siapa Saja', tapi jelas, itu bukan untuk siapa saja.Â
Surat itu jelas-jelas untuk penulis, atau lebih tepatnya, siapa saja yang merasa menjadi seorang penulis, seorang yang suka menulis, atau yang berkecimpung dalam tulis menulis. Dan 'saya' adalah satu dari jutaan penulis yang disasar oleh busur judul bung Sulak.Â
Kata bung Sulak, dia benar-benar tulus dalam menulis surat itu, setulus niat yang seputih kapas. Walau satu pamrih yang ia minta kadang membuat saya berpikir kembali niat seputih kapas yang bung Sulak tulis itu, sejatinya tidak benar-benar putih. Ada satu noda, satu noda berbentuk pamrih 'agar orang-orang yang gemar membaca mendapatkan manfaat maksimum dari kegemaran mereka membaca', ya satu itu saja.Â
Untuk kebaikan bersama, tekan bung Sulak dalam suratnya, seolah pamrih yang dia minta bisa menutupi noda hitam yang tergores pada niatnya yang seputih kapas itu.Â
Surat bung Sulak begitu mencabik-cabik naluri saya sebagai seorang penulis, walau saya bukan seorang penyair, atau pujangga yang bung Sulak tuliskan, atau lebih tepatnya, saya adalah seorang akademisi yang suka sekali menulis karya ilmiah.Â
Kalau bukan karena kewajiban sebagai seorang dosen, atau keterpaksaan karena uang sertifikasi yang akan tersumbat bila absen publikasi, atau gegara dicambuk-cambuk ratusan komentar Florentina di awal masa studi dulu, atau mungkin karena ujaran Irena bahwa 'tulisanmu sulit dipahami', mungkin menulis karya ilmiah tidak akan menjadi hobby, atau paling tidak sirna lantaran pekerjaan ajar-mengajar yang rutinitasnya sering kali membosankan.Â
Jujur saja, saya hampir frustrasi gara-gara surat bung Sulak itu, saya merasa seperti depresi untuk menulis lagi, takut sekali, kalau-kalau saya mengecewakan pembaca karena tidak bersungguh-sungguh untuk menulis.Â
Tapi bukan sekedar itu, saya justru tertimbun malu bila kemudian saya menyajikan hidangan 'sembarangan' dalam tulisan yang saya buat, kepada pembaca, yang kata bung Sulak, sedang bersungguh-sungguh untuk membaca. Karena, sebagai seorang pembaca, saya begitu sering dikecewakan oleh tulisan banyak kolega, yang asal jadi, asal terbit bila ada duit, yang tidak ada rasa dalam tulisannya itu. Atau bahkan, dari bungkusnya saja sudah tidak dapat diendus baunya, dan tentunya tidak bearoma, tampaknya begitu hambar.Â