Saya warga Jakarta: tinggal di Jakarta, sekolah di Jakarta, dan sekarang berkerja di Jakarta dan telah melewati estafet kepemimpinan beberapa gubernur Jakarta. Beberapa yang saya ingat adalah Bapak Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992-1997) karena beliau pandai sekali menyanyi, dan kebetulan saya bersama teman-teman SMA dulu pernah menyambut kedatangan beliau di Gelanggang Remaja Jakarta Utara.Â
Lalu, saya juga mengenal Gubernur Sutiyoso (1997-2007) yang begitu populer dan sangat berpihak kepada guru. Ingatan saya adalah ketika kakak-kakak saya mendapat kesempatan menjadi guru kontrak dan, pada jaman beliau pula, gaji guru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Atau lebih tepatnya, guru lebih sejahtera. Di jaman beliau juga saya mendengar pencanangan pembangunan BKT (Banjir kanal timur) sebagai solusi banjir Jakarta.Â
Lalu, masa-masa kepemimpinan Bapak Gubernur Fauzi Bowo (2007-2012) yang melanjutkan peningkatan kualitas tata ruang Jakarta serta melanjutkan kerja bapak Gubernur sebelumnya Bapak Sutiyoso. Dimasa FOKE (nama beken pak Fauzi Bowo) saya merasakan banyak sekali perbaikan-perbaikan infrastruktur Jakarta, dan menikmati keberhasilan hasil pembangunan BKT.Â
Ada masa-masa Pak Gubernur Joko Widodo (2012-2014) yang membangun kembali Jakarta dari beberapa rangkaian projek yang mangkrak. Di jaman Bapak Jokowi (sebutan pak Joko Widodo) saya juga menyaksikan kelanjutan projek MRT, pemberdayaan SDM masyarakat pinggiran (melalui aktivasi Kartu Jakarta Pintar) dan lain-lainnya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana para siswa Jakarta begitu dimanja oleh Gubernurnya.Â
Kerja pak Jokowi ini kemudian dilanjutkan oleh Pak Basuki Purnama (atau Ahok) pada periode 2014-2017 dengan ketegasannya. Bapak Gubernur Djarot Syaiful Hidayat memimpin Jakarta beberapa bulan di tahun 2017, sebelum akhirnya menyerahkan estafet kepemimpinan Jakarta oleh Bapak Gubernur Anies Baswedan  pada bulan Oktober 2017.
Satu hal yang membuat sedih adalah pada masa tiga gubernur terakhir perpolitikan kita sudah membuat tingkat pengotak-kotakan masyarakat Jakarta, dengan beragam label dan sebutannya.Â
Atau dengan bahasa yang ekstrim, telah membagi masyarakat Jakarta kedalam dua kelompok besar: Islamis dan kelompok satunya yang lebih liberal. Â Gubernur Anies sendiri dinilai sebagai kemenangan Umat Islam diatas masyarakat yang tidak berafiliasi dnegan Islam.Â
Banyak kelompok-kelompok masyarakat Jakarta kemudian menjadi  lebih emosional dalam perdebatan di dunia maya. Walhasil, rasa tidak suka dan benci mulai mendominiasi ruang publik.Â
Rasa benci yang tertanam (ditanam) dan disuburkan hari-demi hari dengan positingan hoax yang melempar cacian dan hinaan menjadi sulit  bagi masyarakat kita untuk melihat keberhasilan (hal-hal positif) dari pada beberapa kekurangan (hal-hal negatif) dari para pemimpinnya, baik yang sudah tdak memimpin atau yang tengah memimpin.Â
Untuk kasus pak Gubernur Anies, misalnya, keberahasilan apapun yang telah diperoleh beliau selalu ditanggapi sinis, dan selalu dikaitkan bahwa keberhasilan tersebut adalah hasil dari pemimpin sebelumnya (yang jelas-jelas sudah tidak memimpin lagi). Dan rasa sinis dan kebencian ini lah yang selalu menempatkan Gubernur Anies selalu salah oleh mereka.Â