[caption caption="Ilustrasi pembelajaran di kelas"][/caption]Beberapa tahun silam, secara tidak sengaja saya ikut "nimbrung" sebuah pembicaraan beberapa orang guru. "Pembicara utama"-nya adalah guru BP di sebuah sekolah menengah. Objek pembicaraan tersebut, sudah barang tentu, siswa. Awalnya, pembicaraan hanya terjadi antara guru BP dengan sang wali kelas. Namun, karena pembicaraan itu terjadi di ruang guru, jadilah guru-guru lain ikut mendengar. Ketika "isi" pembicaraan begitu serius, bertambahlah guru-guru lain yang turut menimbrung. Termasuk saya.Â
Dari satu "curhatan" tentang kekurangan siswa pada satu mata pelajaran, berlanjut pada curhatan-curhatan lain tentang latar belakang keluarga dan lain sebagainya. Jadilah lengkap kekurangan siswa menjadi obrolan kami di ruang guru.
Pembicaraan kami, guru-guru pada waktu itu, saya anggap hal yang wajar. Membicarakan siswa selalu menjadi bagian dinamika aktivitas guru selain mengajar tentunya. Namun, tulisan status Facebook teman saya Pak Witono yang berjudul "Menjaga Kehormatan Siswa" begitu menyentil saya dan berhasil menjadi renungan untuk beberapa waktu. Judul pada status tersebut pun saya jadikan judul pada artikel kompasiana ini.Â
Pada status Pak Witono, beliau sebenarnya hanya sedikit mengulas pengalaman kecilnya ketika mengambil laporan hasil belajar anak-anaknya, Ghozi dan Furqon di sebuah sekolah dasar di Jepang. Berikut saya kutipkan:
"Setiap selesai terima raport Ghozi dan Furqon saya tanya, gimana temanmu?
Jawabnya : saya nggak tahu.
Hari ini saya ke sekolah, barulah tahu kenapa kok anak-anak tidak tahu.
Anak-anak di dalam kelas dan guru memanggil satu per satu keluar ruangan. Di situlah raport diberikan dan setiap anak diberi "pencerahan" yang mana tidak ada murid lain yang tahu.
Sepertinya para guru tetap memberi petuah kepada para siswa dengan tetap menjaga marwah dan kehormatan mereka
(Wuiiiik...dhuwure rek)"
Tulisan Pak Witono dalam statusnya ini menarik, dan menyiratkan pesan pentingnya menjaga kehormatan siswa terlepas kelemahan-kelamahan mereka pada aspek tertentu dalam pembelajaran.Â
Sayangnya, dalam aktivitas pendidikan kita di sekolah, sering kali "curhatan" siswa kepada guru BP ataupun wali kelas yang seyogyanya "rahasia" ini bocor di tangan guru mereka sendiri. Ketika "aib" siswa menjadi gosip di kalangan para guru, benteng-benteng yang menjaga kehormatan siswa tersebut semakin rapuh dan tergerus "rumor". Terlebih ketika sebagian guru "sulit" menjaga mulutnya yang akhirnya aib seorang siswa tersebar ke siswa yang lain.Â
Belum lagi ketika acara pembagian rapor tentang hasil pembelajaran siswa. Umumnya, pembagian rapor yang dilakukan di ruang kelas begitu terbuka. Sehingga, kadang orang tua serta siswa yang hadir dapat mencuri dengar hasil pembelajaran oleh wali kelas. Maka tak jarang, kelemahan-kelemahan siswa dalam proses pembelajaran menjadi rahasia publik. Bagi siswa yang bersangkutan, jelas hal ini menjadi hal yang memalukan dan tidak jarang kemudian mereka menutup diri.Â
Proses pendidikan bukan hanya berbicara tentang pencapaian kognitif, tetapi juga harus mampu menjaga kehormatan siswa. Semoga.Â