[caption caption="Ilustrasi gambar: Kompas.com"][/caption]Dalam pembicaraan siang itu teman saya mengeluhkan perlakuan suasana sekolah, yang menurut anaknya dianggap "bullying". Beberapa perlakuan yang dianggap anak teman saya bullying tersebut seperti berikut:
1. Berbicara berbahasa Inggris, dianggap'norak', 'kebarat-baratan' dengan disertai ejekan dan panggilan yang tidak menyenangkan
2. Bukan bagian dari komunitas lokal, sehingga sering menerima penolakan, sering diinjak sepatunya, sering didorong. Maklumlah, teman saya ini baru kembali dari luar negeri, sehingga sering dianggap bukan dari komunitas siswa di lingkungan sekolah.
3. Anaknya juga bercerita, bila kegemarannya untuk menyendiri, diam dan fokus terhadap mata pelajaran dianggap 'tidak normal' di kelas, atau dikategorikan sulit bergaul. Sehingga, acapkali anak teman saya ini menjadi bahan olok-olok yang tidak ada habisnya sepanjang hari sekolahnya.
Pengalaman teman ini sebenarnya banyak terjadi dengan kita. Dan, saya yakin hal ini juga dirasa oleh teman-teman yang baru saja kembali dari luar negeri. Namun, tulisan saya kali ini bukan semata-mata ditujukan kepada mereka yang baru saja kembali dari luar negeri, tetapi juga anak-anak kita yang baru saja pindah sekolah ke daerah baru, baru saja masuk kedalam lingkungan pendidikan baru, ataupun mereka yang 'secara special' menerima perlakuan bullying yang sering kali dianggap wajar, sehingga lepas dari perhatian dan pengamatan guru.Â
Dampaknya pastilah sangat serius sekali, bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga mental dan psikologis yang sering kali membuat anak-anak kita tidak 'aman dan nyaman lagi di sekolah'. Wajar saja bila anak teman saya selalu termenung sepulang sekolah, dan minta agar ia boleh tidak bersekolah lagi.
Fenomena seperti pada ilustrasi yang saya sampaikan diatas sebenarnya merupakan bagian dari praktik bullying di sekolah. Namun sayangnya, fenomena ini seringkali dianggap wajar bagi komunitas pendidikan. Sehingga, kejadian-kejadian 'kekerasan' psikis ini seringkali berulang, yang menyebabkan bersekolah tidak lagi nyaman dan aman. Bahkan yang mengkawatirkan, dalam pengalaman saya dan teman saya, fenomena dianggap biasa saja oleh guru dengan tidak ada tindak pencegahan, pelajaran atau apapun. Alasan gurunya cukup sederhana, "Biasa, anak-anak seperti itu ibu!".
Mengapa dianggap wajar? Begitulah saya bertanya-tanya. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengulas kembali apa makna bullying. Saya menemukan referensi yang begitu menarik tentang bullying ini di web Department of Education and Training, Melbourne, Victoria, dengan alamat link http://www.education.vic.gov.au/about/programs/bullystoppers/Pages/what.aspx. Secara singkat saya mengutip beberapa hal yang penting:
Definisi Bullying: "Tindakan agresif berupa verbal, fisik, sosial, psikis yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang, atau sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok yang lemah, secara khusus dimaksudkan untuk menyebabkan kesakitan, tekanan ataupun ketakutan."
Bentuk bullying: beruba perkataan, atau kalimat tulis seperti ejekan, candaan, poster, berupa kekerasan, pelecehan seksual (yang menebabkan ketersinggungan, rasa malu, dan intimidasi),  homophonia atau rasa bermusuhan terkait dengan gender dan seksualitas, berupa diskriminasi ras atau identitas tertentu, dan penggunaan teknologi cyber.
Jika saya lihat fokus ada bullying ada pada "kekerasan (baik fisik ataupun psikis)" yang dilakukan "berulang-ulang". Jadi penolakan sosial atau rasa tidak suka yang kemudian dibarengi oleh ejekan, cemoohan, atau sampai pada tindakan kekerasan (baik dalam skala kecil) bila dilakukan secara berulang-ulang maka dapat dikategorikan sebagai bullying.Â
Mungkin dua hal inilah yang tidak mendapat perhatian oleh guru. Selama ini bullying hanya diartikan kekerasan kelompok pada seorang individu. Padahal konteks bullying bisa sangat luas. Kurangnya pengetahuan guru tentang bullying akan memperburuk situasi dikelas dan tindakan bullying akan semakin dianggap "wajar". Terlebih guru kemudian menggunakan alasan "wajar masih anak-anak" ataupun "Murid kami di kelas bukan hanya satu, tapi tiga puluhan" sehingga praktek bullying ini kerap lepas dari perhatian guru. Walhasil, lagi-lagi siswa harus menerima tindak bullying ini di lingkungan yang semestinya aman bagi mereka untuk menerima pendidikan dan pengajaran.Â
Semoga hal ini mendapat perhatian bagi pihak-pihak terkait di komunitas pendidikan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H