"Si A itu gimana sih, be** banget, masa mengerjakan soal gampang gitu saja tidak bisa!"
"Maaf, anak ibu itu tidak bisa mengikuti pelajaran"
Dua kalimat diatas saya dapatkan dalam dua situasi dan posisi yang berbeda; yang pertama, saya dengar langsung dari seorang kolega guru di ruang rapat, posisi saya pada saat itu adalah seorang guru. Dan kalimat yang kedua saya dengarkan langsung dari seorang ibu yang baru saja ditegur oleh guru anaknya, dan posisi saya adalah ayah dari anak itu.
Konteks dua kalimat ada persamaan dan tentnya ada perbedaan. Saya jelaskan sedikit tentang perbedaannya sebagai gambaran para pembaca.Â
Persamaannya adalah, keduanya terjadi di kelas 1 SD, dimana seorang anak 'baru saja' mengenal dan memulai pendidikan formal. Dan keduanya 'tidak pernah' mengikuti pendidikan TK didaerahnya masing-masing. Sehingga, keduanya memiliki sedikit keterlambatan dalam baca tulis.
Perbedaannya, ucapan tersebut berasal dari background yang berbeda. Dalam kasus kalimat pertama, si anak bernama A sudah mengikuti pembelajaran setidaknya empat-lima bulan, dan, sejauh yang saya tahu, sang anak berasal dari keluarga tidak mampu. Sedang dalam kasus kalimat kedua, sang anak B baru dua bulan mengikuti pendidikan di Indonesia, setelah kembalinya kami dari Inggris. Tentunya dengan beragam perbedaan kultur kurikulum, sekolah, dan lingkungan kehidupan sehari-hari.
 Sebagai orang tua, hati saya benar-benar sakit, mendengar performans anak saya di sekolah yang 'kurang memuaskan'. Namun demikian, saya bukan hendak mengharap prestasi dari kegiatan belajar anak di sekolah. "Yang penting anak saya dapat ikut belajar di sekolah", begitu saya berpesan pada guru di awal-awal pendaftaran.Â
Terlalu cepat
Yang saya sesali dari dua kalimat diawal artikel ini (dengan dua posisi saya sebagai guru dan orang tua) adalah mengapa guru terlalu cepat mengambil kesimpulan terhadap hasil belajar (kemampuan) siswa. Bahkan, lengkap dengan penghakiman sebagai "siswa be**" seperti pada kalimat tersebut.
Padahal, pendidikan itu sendiri adalah sebuah rangkaian proses: proses mengenal diri, proses mengenal kompetensi, proses belajar, proses menjadi sesuatu. Lebih dari itu, proses pendidikan selalu bersifat endless (tidak berakhir), yang selalu kita dengar dengan sebutan livelong learning.
Pendidikan dan pembelajaran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam aktivitas pembelajaran. Oleh karenanya, sangat tidak fair bila kemudian kelemahan siswa dalam aktivitas pengajaran guru membuntu aktivitas pendidikan. Apalagi ketika kelemahan siswa dihakimi oleh guru dalam waktu yang sangat singkat serta tanpa obervasi berkelanjutan yang terstruktur.
Dahulu, Miss Bird, guru anak saya sewaktu di Inggris, butuh waktu lebih dari 3-6 bulan sekedar hanya untuk 'mengenal karakteristik' anak saya, dan enam bulan berikutnya, beliau baru mulai mendalami dan mencoba mengembangkan potensi atau aspek-aspek pengetahuannya. Yang mengejutkan, ketika pembagian rapor, tak satu pun kata dari Miss Bird yang menjelaskan ketidak mampuan anak saya, jangan lagi berbicara tentang 'anak saya tidak dapat mengikuti pelajaran'. Yang diucapkanya adalah: anak bapak si B telah mampu di bagian ini .. ini.. dan ini.. di aspek ini dan ini,.. dan aspek pengetahuan B berkembang di area ini dan ini, sembari memperlihatkan bukti-bukti hasil karya anak saya (dalam bentuk file-file portofolio).
Bilapun ada yang dianggap lemah, Miss Bird mengkomunikasikannya dengan baik: Aspek kemampuan si B dapat dikembangkan lebih baik lagi dengan bla, bla, bla,.. sembari menunjukkan alternatif kegiatan kepada orang tua.Â
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan kitalah yang menyebabkan guru-guru cepat mengambil keputusan terhadap kemampuan anak didik mereka. Pencapaian indikator pembelajaran, kriteria kompetensi minimal serta hasil-hasil ulangan (ujian) selalu menjadi dalih dalam 'eksekusi' tentang performance anak di sekolah. Dan orang tua? selalu diposisikan 'tidak mampu' mengawasi belajar anaknya dirumah. "Tolong anak ibu di perhatikan belajarnya dan bla bla bla", "Agar anaknya tidak bla bla bla" Begitulah yang sering ditulis di catatan rapor, ataubahkan disampaikan langsung.Â
Refleksi diri
Ketika membicarakan refleksi diri dalam konteks pengajaran, saya selalu teringat kutipan status Facbook Prof. Hadi Susanto, putra Indonesia yang menjadi dosen senior di Univ of Essex, Inggris. Saya tuliskan bagian yang terpentingnya sebagai berikut:
"Pekan kemarin mahasiswa saya dinyatakan lulus S3 setelah ujian tertutup selama 3,5 jam. Sebetulnya tidak ada yang istimewa, termasuk latar belakang S1 dan S2nya yang dari Teknik Informatika. Yang menarik justru karena ketika evaluasi tahun pertama, dua pengujinya cenderung memutuskan dia gagal dan hanya lulus dengan ijasah S2 saja. Alasannya karena dia tidak menguasai teori-teori dasar matematika yang diperlukan. Beruntung dia diberikan kesempatan tambahan setelah saya melobi penguji hingga wakil ketua jurusan.
Setelah mengevaluasi diri, ternyata yang saya terangkan selama ini tidak dimengerti, walau perasaan sudah memakai penjelasan yang paling sederhana. Akhirnya saya ganti cara: teorema-teorema saya tuliskan dan jelaskan dalam bahasa yang dia pahami, bahasa pemrogaman. Dan alhamdulillah akhirnya dia lulus tepat waktu juga."
Dari beliau kita, sebagai guru, dapat belajar tentang pentingnya refleksi diri (refleksi pembelajaran): "apakah kita sudah mengajar dengan baik?" atau mungkin, seperti pada kasus Prof Hadi diatas, mungkin saja metode mengajar guru kurang tepat serta dengan bahasa yang tidak dipahami oleh siswa.Â
Oleh karenanya, guru harus terbuka menerima masukan, dan dituntut untuk dapat melakukan refleksi diri. Selain itu, guru pun dituntut untuk memperbaiki cara berkomunikasinya sehingga pesan-pesan pembelajaran yang ingin disampaikan dapat dimengerti dengan baik oleh siswa. Jangan cepat menyalahkan siswa dengan penghakiman singkat, mungkin saja guru yang perlu belajar lagi tentang metode pembelajaran.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip ucapan Prof. Yohanes Surya yang selalu saya jadikan alat berefleksi diri: "Tidak ada siswa yang bodoh, yang ada hanyalah siswa yang tidak memiliki kesempatan dari guru-guru yang baik dengan metode belajar yang baik."
Lalu, sebagai guru, sudahkah kita telah menjadi guru yang baik? dengan metode pembelajaran yang baik?
Â
Ilustrasi gambar: Kompas.com
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H