[caption id="" align="alignnone" width="479" caption=""Putri , umur 5 tahun", (cropping ), salah satu dari 4 lukisan "Putri" karya Herri Soedjarwanto. Satu yang terbesar, historis, narativ, dipasang di rumahnya di Beverly Hills, California."][/caption] Kisah Nyata Tentang : Mengatasi rasa takut menggambar,... melukis dengan Ikhlas.. Tiada hari tanpa menggambar... Seorang boss di Jakarta bercerita bahwa putrinya telah lulus dari Beverly Hills High School California dan kemudian melanjutkan studinya ke Graphic Design di sebuah College of Art and Design yang terkenal di Los Angeles, California, yang mahasiswanya berdatangan dari seantero penjuru dunia. Di tahun ke dua , muncul “masalah besar” bagi sang putri, yang membuatnya stress, panic dan menangis, setiap menelpon papinya di Jakarta. Tahun ke dua itu, ada mata kuliah menggambar model / figure,, sedangkan dia “tak bisa menggambar”. Akhirnya boss ( papi ) ini memutuskan agar Putri ( kita sebut saja begitu ) pulang dulu ke Indonesia untuk libur / cuti kuliah satu bulan. Dan aku diundang ke Jakarta untuk menyelesaikan “masalah besar” putrinya, Putri seorang gadis cantik cerdas, kreatif, energik juga mandiri dan tegas. Bakat seninya yang besar menurun dari ibunya yang seorang artis kondang . Kalau saat itu dia “tak bisa menggambar”, wajar , karena kebetulan memang tak pernah dilatih menggambar. “ OK Putri, saya sudah tahu masalahmu. Mengingat waktumu hanya satu bulan di Indonesia dan harus sudah bisa nggambar, kita harus kerja keras. Kita panggil model, dan kita gambar tiap hari ..!” “ Gak setuju mas ! Putri kan cuma satu bulan di Jakarta, lama gak ketemu teman-teman, pengin juga dong jalan-jalan, ke Mall, café, hang out bareng teman-teman, .. Gimana dong ? ” dia tunjukkan sederet daftar acaranya di Jakarta bersama teman-temannya.. “ Astaga.... lha kamu dipanggil pulang kan untuk ajar nggambar ? Kok malah penuh jadwal jalan-jalan sih ? Saya kan harus tanggung jawab sama papimu..?? “ “ Waduuhh…. Mas Herri jangan bilang-bilang ke papi dong,… Pokoknya tolong gimana caranya agar aku bisa nggambar tapi juga nggak ketinggalan acara teman-temanku… Aku janji nurut sama mas Herri deh… asalkan papi jangan sampai tahu…” Setelah berdebat, diskusi mengutak-atik jadwal , akhirnya ada kesepakatan, jalan tengah. Cara yang sudah sangat kuno tapi terbukti selalu manjur, yaitu : Boleh lakukan kegiatan apa saja, silahkan enjoy aja, yang penting dimanapun dan kapanpun wajib membawa sketch book, dan harus selalu nggambar ..!! “ OK.. deal..!” Tiada hari tanpa menggambar, kapan saja , dimana saja. Komitmen telah dibuat, dan mulai saat itu, aku “mengawal” Putri kemanapun pergi, baik dengan pacarnya, maupun dengan teman-temannya. Dan dia konsekwen, kemanapun dalam acara apapun, di café-cafe, di Mall, Food court, apartemen , di loby hotel, di restaurant Jepang… pokoknya di manapun dia (..dan aku juga) selalu membawa sketch book, dan selalu menggambar.. Minder, takut dan gak PeDe Kedengarannya enak dan mudah, tapi sebetulnya sangat sulit di awalnya. Masalah pokoknya adalah Putri minder, gak pede, malu bahkan takut gambarnya dilihat orang, karena memang “gak bisa nggambar”… “Mau gimana lagi?.. Kalau mau gak dilihat orang ya nggambarnya di studio, panggil model. Tapi kan Putri maunya nggambar sambil jalan-jalan, ya harus berani gambar di depan orang banyak dong..?? “Yaah,.. mas Herri enak aja ngomong begitu, soalnya mas Herri kan seniman, udah hebat lukisannya… lha Putri.? Pasti di ketawain orang,… belagu banget , sok demo nggambar , padahal hasilnya peyok.. ancur-ancuran..mau ditaruh mana muka ini?” “ Ya taruh di muka aja , jangan di belakang… hehehe… Sebetulnya itu hal wajar saja : seniman professional gambaranya bagus, sedangkan Putri mahasiswi baru belajar, gambarnya belum bagus... Apanya yang salah? ..nggak ada kan..? “ “ Yaaa…. Tapi kan….bla…bla…bla…” Putri teruuuss saja mengajukan argument kuat untuk membuktikan bahwa dia tak mampu, yang membuatnya semakin lemah dan kecil… Bisa kurasakan ketakutannya yang nyata.. Percuma mendebatnya, Jadi aku dengarkan saja semua keluhannya… Mendadak aku dapat ide untuk menjawab semua kecemasannya, bukan dengan kata-kata tapi dengan tindakan nyata. “ OK aku mengerti… sekarang kita mulai saja. Putri tak usah ikut nggambar dulu, sementara ini cukup melihat dan mengamati saja.”… Mengatasi rasa takut , berhenti berpikir langsung bertindak Saat itu kita sedang di Pondok Indah Mall (PIM), di sebuah café wara laba dari Perancis, yang sedang ramai pengunjung… Selain itu di koridorpun banyak orang berlalu lalang. Di mata wong ndeso seperti saya , mereka terlihat seperti boss, artis atau selebritis semua.. Aku seret kursi , ambil posisi untuk mencuri-curi menggambar “model”. Siapa modelnya? Siapa saja yang sedang duduk tenang menikmati kopi, rokok atau makanan di café itu. Tentu saja kupilih “model” yang duduknya agak jauh, nggambarnya agak sembunyi-sembunyi sedemikian rupa sehingga si “model” tak tahu dan tak merasa sedang digambar, jadi tak mengganggu kenyamanannya… Putri duduk di sebelahku. Dia sudah sering lihat lukisanku. Sejak umur 5 tahun sampai remaja, sudah 4 kali aku melukis Putri. Bahkan ada lukisanku yang cukup besar dipasang di rumahnya di Beverly Hills, California. ( lukisan tentang sebuah momentum bersejarah dalam kehidupan Putri dan papinya). Jadi dia percaya dan tak ada masalah dengan kualitas lukisanku. Aku pun tak perlu membuktikan apa-apa kepadanya. Tapi hari ini ada satu hal lain yang ingin kutunjukkan kepadanya.. sesuatu yang jauh lebih penting..!! Lakukan dengan ikhlas Aku sengaja ambil posisi duduk di pinggir luar café yang menyatu dengan lorong dimana orang ramai berlalu lalang. Karena posisi yang menyolok sepert itu, orang lewat pada berhenti dan tak lama kemudian terbentuk kerumunan orang melihat aku menggambar, didampingi Putri yang serius mengamati aku menggambar step by step. Naluri alami setiap insan, apalagi seniman adalah pamer kehebatannya. Orang lain pun berharap untuk bisa menyaksikan kehebatan itu.. Tapi pada saat itu aku berniat “ikhlas mengorbankan diri”. Ketika melihat aku menggambar dan melihat hasil gambarku, dari kerumunan itu banyak kudengar kasak kusuk, bisikan-bisikan lirih mereka yang terdengar kecewa dan tak puas... “ sstt, gambarnya kok jelek gitu ya?”… “..mungkin baru belajar gambar ya..?” “..penampilannya doang kayak seniman beneran, tapi gambarnya payah..” … “ ..kalau cuma segitu sih , anak gue juga bisa kalee…”… dan masih banyak komen miring lainnya. Kulirik wajah Putri tampak tegang dan tak nyaman sama sekali… Aku tersenyum dalam hati, karena komentar yang seperti itulah yang memang betul-betul kuharapkan saat itu.. Setelah selesai, kerumunan pun bubar, Putri melihat-lihat hasil karyaku.. “ Mas gambarnya kok cuma kayak gini sih, kok gak seperti yang sering kulihat?” matanya tajam menyelidik. “ Ooh ya ?.. Mungkin tanganku masih kaku, karena sudah lama nggak nggambar pake pensil..” jawabku sambil pura-pura sibuk mengaduk kopi, tak berani menatap matanya , takut ketahuan berbohong. “ Mas Herri dengar nggak mereka kasak kusuk tadi ?..” “ Dengar laaah….” “ Nggak malu ya ..??” “ Nggak laaahh … kenapa harus malu ?” “ Lhoo?.. Mas Herri kan seniman, pelukis professional, penampilannya aja nyeniman banget gitu ...masak sih dibilang gambarnya jelek nggak malu?” “Ooh gituu… tolong Putri dengar dan fikirkan baik-baik .., saya yang seniman professional saja, nggak malu dibilang gambarnya jelek di depan orang banyak... Kenapa Putri yang mahasiswi baru belajar nggambar, harus merasa malu ?.. atau takut kalau gambarnya jelek?... Kenapa ?!.. ” Putri tersentak kaget, tak bisa ngomong. Dia terdiam cukup lama, kemudian bergumam. “Eh.. iya juga siiih… tapi aku masih nggak mengerti, gimana mas Herri bisa tetap santai , menghadapi semua itu?” “ Fokus pada tujuan utama dan ikhlas.. !! ..Tujuan menggambar untuk memenuhi kebutuhan sendiri, kebutuhan lahir (melatih skill) dan kebutuhan bathin (memuaskan hasrat melukis), bukan untuk pamer ke orang lain biar dipuji,… ikhlas saja..” “Soal orang ngomong macam-macam itu kan mereka gak tahu kebutuhan kita.. Lagi pula mereka kan cuma bisik-bisik antar mereka, tak ditujukan langsung ke kita. Jadi abaikan saja, nggak penting. Saya berani pastikan: sejelek-jeleknya gambar saya, mereka yang bisik-bisik itu pasti lebih jelek lagi kalau menggambar.. itu mangkanya mereka tak berani bicara langsung… takut kutantang nggambar..” kataku pura-pura arogan… Jadi, Kita harus tetap focus pada tujuan kita, dan menggambar dengan ikhlas... Sejak itu, semuanya menjadi lebih lancar, apalagi sejatinya Putri memang berbakat besar. Minggu terakhir Selama 3 minggu Putri menunjukkan kemajuan drastis… Selama itu aku menggambar mengikuti “gaya dan irama” Putri, tanpa dia ketahui. Kupikir kini saatnya Putri sudah cukup siap untuk melihat dan menerima gambarku yang serius.. Hari itu aku berniat untuk mulai menggambar dengan lepas, tanpa kutahan-tahan lagi, demi kebaikan dan kemajuan Putri juga. Disebuah café yang sedang penuh pengunjung, orang sedang antri panjang untuk pesan maupun membayar, ada yang gendong anak, ada yang ngobrol, ada yang bicara dengan kasir, ada yg mendorong kereta bayi, ada yang duduk santai, makan minum.. pokoknya lengkap dalam segala macam pose. Dan aku gambar keseluruhan suasana café itu dalam komposisi yang penuh dan padat… Ketika Putri melihat gambar itu , spontan dia berseru sanbil memukul-mukul (nggablogi- jawa) punggungku: “ Hah…!! .. gokil … keren bangeeet…!! Jadi… selama ini mas Herri membohongi aku yaa ?? ngerjain aku yaa…??? iiiihh.. jahat banget …. jahat.… jahaat…. !!!” Dia terus memukulku dengan gemas diiringi derai tawa teman-teman dan pacarnya. “Sory Putri…, seandainya sejak awal aku nggambar seperti ini, apa Putri berani nggambar disebelahku ? bayangin aja orang memuji gambarku apa Putri nggak semakin minder?” “Iya mas,... Putri ngerti kok.. makasih mas Herri mau bersabar dan berkorban kalau nggak gitu mungkin sekarang Putri masih takut dan belum bisa nggambar, gak berani kembali kuliah. “ Hari-hari terakhir.. Hari ini Pak boss turun dari villa, mengundang kita makan, sekalian pengin tahu perkembangan putrinya. Ketika aku dan Putri sampai di Restaurant Jepang itu, ternyata di dalam sudah penuh, diluar pun antrian panjaaang menunggu giliran... Sebagai wong ndeso wajar lah kalau aku harus melongo... "Wow...!!.. Putri... kita ini mau makan apa mau nonton bola sih... ?". "Ha-ha-ha... Ini restaurant paling terkenal mas, antrean seperti ini biasa, bahkan boss-boss pun pada rela antri. Tuh lihat di sana.. papi mami juga pada antri" katanya sambil melambai. Tiba-tiba saja Putri ambil posisi mendekati papi maminya, mengambil jarak ideal, lantas duduk dilantai, menyiapkan sketch book A3,... dan... mulai menggambar papi maminya di dalam antrian. Gadis cantik dengan super PeDe menggambar ditengah keramaian seperti itu, spontan mengundang orang untuk berkerumun. Aku berniat menjaga dan menemani menggambar di sebelahnya seperti biasa. Tapi Kulihat para pengawal boss ada diantara kerumunan sementara boss melambai ke arahku. Aku segera menghampiri .. "Gilaa, ...Putri kok bisa pede banget ya, ? Padahal dulu begitu ketakutan, panik , nangis-nangis ingin pulang.. Terimakasih Herri... apapun metode yang kau terapkan dalam waktu yang sesingkat ini,... itu benar-benar efektif.." "Terima kasih Pak...tapi pada dasarnya Putri memang pemberani dan berbakat besar" Catatan penutup (*) Setelah lulus dari studinya di Otis College of Art and Design, Los Angeles California., Putri sempat menjadi Graphic Designer profesional selama 2 tahun... Sejak Juni 2013 sampai saat ini, Putri tinggal di Paris Perancis, menjalani studi di ESSEC Business School.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H