Pagi menyongsong hari saat perut menggerutu memohon-mohon segera diisi. Â Di sana ada ruang kosong yang menghentak dengan kata, "Lapar, pak! Lapar, bu!"Â
Penguasa tubuh dan raga saling berseberangan antara bathin yang menimbang dan logik yang rasional. "Patutkah lapar diteriakkan?"
Lalu, datanglah bunyi gemerincing kaum pemegang palu kekuasaan berteriak, "Ayo lapor. Segera lapor. Jangan biarkan lapar mencengkram lambung, menggugat jantung dan menusuk hati. Lapor!"
Aduh... lapar, lapar. Wahai, lapor, lapor.
Pemegang palu kekuasaan memberi perintah, lalu raga terus menanti dalam lapar yang mendesak. Kelaparan melanda, varian penyakit mendera bukan saja pada raga, terasa pula pada rasa karakter. Bila karakter lapar dan haus kekuasaan, segala daya dan gaya dipertontonkan dalam tarian melenggak. Penonton terkesima sambil memeluk lambung berisi angin.
Tawa diperdengarkan antar ruang melintasi batas geografis dan  area astronomis, sambil menenggak penyegar tubuh dari tuangan bernas bermakhota kecerian agar cerita makin menarik dalam frasa pengantar tawa berbahak dan terpingkal. Ujaran mereka tentang ketertindisan yang terus dimainkan agar posisi dan kedudukan kokoh di tempatnya. Ruang-ruang ditempeli hiasan kemunafikan dan senyum sinis kaum borjuis, hingga elit berhati cemas pada durasi kewenangan yang makin pendek.
"Penguasa, kami haus! Ingatlah kami yang berdahaga!"Â
"Bila dahaga menyerang, koreklah dahak di gergantang; hasilkan cairan berdahak dan berdarah, telanlah agar dahagamu terhapuskan."Â
Lihatlah mereka yang memegang kendali kehidupan pubik  menuang cairan keteguhan dalam cawan kemaksiatan mereka. Sementara kaum lemah terus berdahaga mengais sumber-sumber mata air yang terlihat timbul bagai bintik keringat. Di sana mereka menepis dahaga secara bergiliran dan bertindihan.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 26 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H